Ahad 09 Feb 2025 17:13 WIB

Kegagalan Komunikasi Organisasi Kabinet Prabowo Gibran

Sebuah organisasi seyogyanya memiliki nilai dan budaya yang diinternalisasi anggota.

Warga antre untuk membeli gas elpiji 3 kilogram bersubsidi di salah satu pangkalan di Kawasan Bojong Gede, Kab Bogor, Jawa Barat, Selasa (4/2/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Warga antre untuk membeli gas elpiji 3 kilogram bersubsidi di salah satu pangkalan di Kawasan Bojong Gede, Kab Bogor, Jawa Barat, Selasa (4/2/2025).

Oleh : Dr Ramadhan Pohan, pengamat politik

 

Prinsip dasar dari proses komunikasi, apapun bentuknya, adalah membentuk persamaan persepsi. Komunikan dan komunikator memahami hal yang sama karena adanya pertukaran pesan. Itu biasanya yang diajarkan di pertemuan-pertemuan awal perkuliahan jurusan ilmu komunikasi. Bahkan ada kutipan menarik yang pasti diketahui oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi dari  Paul Watzlawick, “We cannot not Communicate.”

Komunikasi menjadi sangat penting, apalagi jika sudah bicara mengurus negara. Salah komunikasi bisa fatal. Sayangnya hari ini, itu terjadi.

Masyarakat dihebohkan dengan pengumuman pemerintah lewat kebijakan Kementerian ESDM mengenai larangan menjual gas LPG 3 KG secara eceran. Alasan yang dijajakan oleh pihak pemerintah adalah harganya yang tidak terkendali serta subsidi yang diberikan tidak tepat sasaran.

Gas LPG 3 KG adalah sandaran hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. LPG 3Kg adalah Solusi bagi masyarakat ekonomi kelas menengah. Kebijakan tersebut jelas mengundang protes dan bukan hal yang baru dalam  era pemerintahan presiden. Pola itu juga dijalankan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Luncurkan spekulasi kebijakan baru yang memiliki skema tidak menguntungkan rakyat, lakukan agenda setting di berbagai media, kemudian ada buzzer untuk mendukung program tersebut. Masyarakat Indonesia menghadirkan gelombang protes di media sosial dan unjuk rasa secara langsung. Lalu kebijakan dibatalkan dengan dalih mempertimbangkan kepentingan rakyat.

Perbedaannya adalah kebijakan larangan pengecer untuk menjual gas elpiji melon sudah sampai pada level eksekusi kebijakan. Eksekusi kebijakan ini baru dihentikan setelah gelombang kericuhan dalam implementasinya. Bahkan, ada lansia yang sampai meninggal karena antri gas LPG di pangkalan resmi milik Pertamina.

Anehnya, kebijakan Menteri ESDM ini ternyata tidak berdasarkan persetujuan presiden Prabowo. Episode akhirnya, Presiden kemudian membatalkan kebijakan tersebut dan meminta Menteri ESDM menghadap ke istana.

Pertanyaannya, apakah Menteri ESDM tidak berkomunikasi dulu dengan Presiden ketika menerapkan sebuah kebijakan? Ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2021 yang menjelaskan bahwa setiap rancangan kebijakan Menteri harus mendapatkan persetujuan presiden. Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa kebijakan ini bukanlah kebijakan dari Presiden Prabowo.

Segala bentuk kericuhan karena larangan penjualan gas LPG secara eceran tersebut adalah panggung depan. Terima kasih kepada warga media sosial karena terus menggaungkan protes terhadap kebijakan kebut semalam ini sehingga bisa ditinjau ulang.

Saya menyimpan dahulu ucapan terima kasih untuk Pak Prabowo. Suka tidak suka, kegaduhan ini disebabkan oleh Menteri yang beliau pilih. Terlepas dari segala latar belakang pemilihan Menteri tersebut, ia sudah menjadi orang yang dipercaya oleh presiden untuk mengelola sektor tambang dan energi.

Kabinet adalah bentuk dari organisasi. Sebuah organisasi seyogyanya memiliki nilai dan budaya organisasi yang kemudian diinternalisasi oleh anggotanya. Dalam Kabinet, maka ketuanya adalah presiden dan anggotanya adalah menteri.

Edgard Schein dalam bukunya, Organizational Culture and Leadership, menjelaskan bahwa budaya organisasi berperan dalam menanggapi permasalahan eksternal dan internal, yang cukup berhasil untuk dianggap valid dan diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar dalam berpikir dan bertindak dalam organisasi. Presiden memiliki visi misi yang harus dieleborasi sebagai budaya organisasi oleh anggota organisasinya, dan diinternalisasi untuk menjadi sebuah program kerja untuk kepentingan rakyat.  Sudah seyogyanya, semua kebijakan sejalan dan selaras dengan visi dan misi presiden sebagai kepala cabinet, setidaknya untuk lima tahun.

Kejadian gas LPG ini menunjukkan bahwa ada kegagalan Presiden untuk bisa membawa budaya organisasi untuk diinternalisasi oleh anggota organisasi, yaitu para Menteri kabinetnya. Jika mengikuti keterangan dari Ketua Harian Gerindra sebagai orang dekat presiden, maka ada kegagalan komunikasi organisasi di dalam cabinet Prabowo Subianto.

Tindakannya jelas jauh berbeda dengan visi misi astacita Prabowo-Gibran. Misi Prabowo-Gibran banyak berkaitan dengan perhatian pada rakyat kecil. Anda bisa telaah sendiri, bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil dan kelas menengah jika kebijakan tersebut dilanjutkan?

Kepentingan, satu kata yang mewakili hal tersebut. Sudah bukan rahasia umum lagi, Menteri ESDM saat ini adalah orang dekat mantan Presiden Joko Widodo. Dalam struktur cabinet Prabowo-Gibran ini, banyak orang-orang dekat mantan Presiden Joko Widodo yang masuk menduduki jabatan penting. Ucapan terima kasih jelas adalah motif utama dalam memasukkan nama-nama tersebut di dalam struktur kabinet. Saya tidak perlu jelaskan lagi siapa mengucapkan terima kasih kepada siapa dalam konteks ini.

Ini adalah konsekuensi tersendiri bagi pilihan Presiden Prabowo dalam pemilihan Menteri dalam kabinetnya. Nama-nama yang begitu banyak menjadi beban tersendiri. Setumpuk nama tersebut membawa kepentingan masing-masing yang sulit untuk diakomodir oleh kabinet Prabowo-Gibran. Budaya organisasi, yang merupakan hasil internalisasi dari visi misi presiden, seharusnya mampu menjadi filter dari kepentingan-kepentingan tersebut, menjadi rem agar kepentingan pribadi tidak berakselerasi melewati kepentingan bangsa dan negara.

Sifat alami manusia tidak bisa lepas dari kepentingan. James Coleman (1990) dalam Foundations of Social Theory mengatakan bahwa individu bertindak berdasarkan kepentingan pribadi dan memiliki perhitungan rasional dalam setiap tindakan. Kita hanya bisa berspekulasi kepentingan yang ada di dalam pemikiran Menteri ESDM Ketika menggulirkan kebijakan yang “katanya” tanpa persetujuan Presiden ini.

Apakah untuk menutupi isu pagar laut? Apakah untuk menjatuhkan citra Presiden di mata publik?

I prefer not to speak?

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement