Rabu 19 Feb 2025 13:16 WIB

Efisiensi Anggaran dan Produktivitas Nasional, Navigasi Kebijakan di Tengah Tantangan

Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan.

Sejumlah pekerja menyelesaikan proyek pembangunan jalan tol IKN Seksi 3A Karangjoang-KKT Kariangau di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (27/1/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Aditya Nugroho
Sejumlah pekerja menyelesaikan proyek pembangunan jalan tol IKN Seksi 3A Karangjoang-KKT Kariangau di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (27/1/2025).

Oleh Jaharuddin,Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB UMJ; dan Masruri Muchtar, Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Pada 22 Januari 2025, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Instruksi ini merupakan langkah strategis pemerintah dalam mengelola belanja negara secara lebih efektif, sekaligus menekan defisit fiskal yang diproyeksikan mencapai Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB. 

Melalui kebijakan ini, pemerintah menargetkan efisiensi sebesar Rp 306,69 triliun, dengan Rp 256,1 triliun berasal dari pemangkasan belanja Kementerian/Lembaga dan Rp 50,6 triliun dari penyesuaian transfer ke daerah. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi pemborosan anggaran serta meningkatkan efektivitas belanja negara dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Namun, pertanyaannya adalah apakah kebijakan ini mampu meningkatkan produktivitas nasional, atau justru berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi?

Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan. Data Badan Pusat Statistik (BPS, November 2024) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada Triwulan III-2024 turun menjadi 4,95 persen, lebih rendah dibandingkan 5,17 persen pada triwulan sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya perlambatan dalam aktivitas ekonomi yang dapat mempengaruhi pencapaian target pertumbuhan nasional. Di sisi lain, investasi (PMTB) hanya tumbuh 5,15 persen, jauh dari target ideal 8 persen yang diperlukan untuk menjaga momentum ekspansi ekonomi yang berkelanjutan.

Selain itu, daya beli masyarakat juga mengalami tekanan. Proporsi kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,45 persen pada 2019 menjadi hanya 17,13 persen pada 2024, yang berarti sekitar 9,48 juta orang mengalami penurunan status ekonomi. Situasi ini diperparah dengan meningkatnya rasio kredit bermasalah (NPL) ke 2,19 persen, menandakan adanya peningkatan risiko gagal bayar terutama di sektor UMKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.

Dalam situasi seperti ini, kebijakan efisiensi anggaran harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemangkasan anggaran yang tidak tepat sasaran dapat menyebabkan kontraksi ekonomi, menekan daya beli masyarakat, dan menghambat laju investasi. Namun, jika diterapkan secara strategis, efisiensi ini justru dapat meningkatkan produktivitas nasional, memperkuat fundamental ekonomi, dan menurunkan ketergantungan pada belanja negara yang tidak produktif.

Agar efisiensi anggaran tetap mendukung pertumbuhan, pendekatan berbasis produktivitas harus menjadi prioritas. Dalam teori ekonomi, produktivitas nasional tidak hanya ditentukan oleh besarnya belanja negara, tetapi juga oleh efisiensi dalam penggunaan modal dan tenaga kerja yang didukung peran teknologi. Dengan kata lain, keberhasilan efisiensi anggaran sangat bergantung pada sejauh mana kebijakan ini dapat meningkatkan efisiensi investasi (kapital), kualitas tenaga kerja (labor), dan penggunaan teknologi yang tepat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Salah satu tantangan utama dalam investasi di Indonesia adalah tingginya ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang mencapai 6,5, jauh lebih tinggi dibandingkan India (4,5) atau Malaysia (4,7). Tingginya ICOR menunjukkan bahwa investasi yang masuk ke Indonesia masih belum cukup efisien dalam menghasilkan output ekonomi, sehingga diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan efektivitas investasi secara menyeluruh. Efisiensi anggaran yang diterapkan melalui Inpres No 1 Tahun 2025 harus disertai dengan strategi yang tidak hanya menekan belanja, tetapi juga mempercepat reformasi regulasi, digitalisasi ekonomi, dan penguatan infrastruktur pendukung industri, termasuk menurunkan biaya logistik yang selama ini menjadi hambatan besar dalam daya saing nasional.

Selain itu, investasi, baik dalam negeri maupun asing, harus terus diperkuat dengan insentif dan kepastian regulasi, agar modal yang masuk benar-benar produktif. Di saat yang sama, pengembangan infrastruktur, baik fisik seperti transportasi dan energi, maupun digitalisasi ekonomi, harus menjadi prioritas dalam membangun fondasi ekonomi yang lebih kokoh. Dalam aspek tenaga kerja, peningkatan kapabilitas SDM melalui pendidikan, pelatihan kerja, dan peningkatan layanan kesehatan menjadi elemen kunci dalam menciptakan tenaga kerja yang kompetitif dan inovatif. Sementara itu, diversifikasi ekonomi juga perlu dipercepat, baik melalui pengembangan sektor ekonomi kreatif, industri tradisional, maupun riset dan inovasi (R&D) yang mendorong pertumbuhan berbasis teknologi.

Dalam lingkup global, perdagangan internasional harus diperluas melalui perjanjian bisnis strategis dan peningkatan ekspor, guna memperkuat posisi Indonesia di pasar dunia. Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memperluas akses keuangan syariah dan mengoptimalkan program sosial berbasis pemberdayaan ekonomi masyarakat, sehingga manfaat pertumbuhan tidak hanya dinikmati oleh kelompok tertentu, tetapi merata ke seluruh lapisan masyarakat. Di sektor pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi elemen krusial, terutama dalam mengurangi biaya administrasi, mempercepat perizinan, dan memberantas praktik korupsi yang selama ini menghambat efisiensi dan efektivitas kebijakan fiskal.

Pada saat yang sama, pengelolaan sumber daya alam (SDA) harus dilakukan secara berkelanjutan, dengan fokus pada transisi energi terbarukan dan eksplorasi yang lebih ramah lingkungan guna memastikan keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Stabilitas moneter dan fiskal juga harus tetap dijaga melalui pengendalian suku bunga, stabilitas harga, serta kebijakan perpajakan yang lebih adaptif dan pro-investasi untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dengan menerapkan kebijakan ini secara terintegrasi, efisiensi anggaran dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi nasional, bukan sekadar pemangkasan belanja, tetapi sebagai strategi meningkatkan daya saing investasi, produktivitas tenaga kerja, dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Dalam konteks peningkatan modal, salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah memanfaatkan instrumen keuangan syariah untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek strategis. Sukuk negara dapat digunakan untuk membiayai infrastruktur yang memiliki dampak besar terhadap produktivitas nasional, seperti jalan tol, pelabuhan, dan energi terbarukan. Dengan demikian, proyek infrastruktur tetap berjalan tanpa membebani APBN dengan utang berbunga tinggi. Selain itu, wakaf produktif juga dapat menjadi instrumen alternatif dalam mendanai sektor sosial, seperti layanan kesehatan dan pendidikan, yang selama ini menjadi beban besar dalam APBN. Skema pembiayaan berbasis mudharabah dan musyarakah juga dapat digunakan untuk mendukung UMKM, yang selama ini kesulitan mengakses kredit dari perbankan konvensional. UMKM bisa diberikan kesempatan untuk berkontribusi pada program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Di sisi lain, peningkatan tenaga kerja juga harus menjadi perhatian utama. Salah satu permasalahan utama di Indonesia adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Untuk itu, kebijakan efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan investasi dalam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. Program pendidikan vokasi dan pelatihan berbasis teknologi harus tetap menjadi prioritas dalam alokasi belanja negara, sehingga meskipun anggaran dikurangi, kualitas tenaga kerja tetap meningkat. Pendidikan vokasi diharapkan membekali mahasiswa dengan kompetensi spesifik yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja serta mengembangkan teknologi terapan yang dapat langsung dimanfaatkan oleh masyarakat.

Selain pendidikan dan pelatihan, digitalisasi ekonomi juga perlu dipercepat. Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi digital telah menjadi faktor utama dalam peningkatan produktivitas di banyak negara. Indonesia harus memanfaatkan momentum ini dengan mengalokasikan belanja negara untuk infrastruktur digital, seperti pengembangan jaringan 5G, adopsi kecerdasan buatan (AI), dan insentif bagi UMKM untuk melakukan digitalisasi bisnisnya. Dengan cara ini, efisiensi anggaran tidak hanya mengurangi beban fiskal, tetapi juga menciptakan lingkungan bisnis yang lebih produktif dan kompetitif.

Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan efisiensi ini tidak berdampak negatif pada daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar terhadap PDB, sehingga stabilitas daya beli harus tetap dijaga. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menjaga keseimbangan antara efisiensi fiskal dan insentif ekonomi bagi sektor-sektor yang menopang konsumsi domestik, seperti industri makanan, ritel, dan transportasi. Jika konsumsi rumah tangga tertekan terlalu dalam akibat kebijakan efisiensi yang agresif, maka pemulihan ekonomi akan semakin sulit dicapai.

Selain itu, kebijakan ini juga harus disinergikan dengan strategi hilirisasi industri dan diversifikasi ekspor. Indonesia masih terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah, yang memiliki nilai tambah rendah dan rentan terhadap fluktuasi harga global. Dengan mempercepat hilirisasi, investasi yang masuk akan lebih efisien dalam meningkatkan output ekonomi. Pemerintah dapat menggunakan skema sukuk berbasis proyek untuk membiayai pembangunan industri hilir berbasis sumber daya alam, seperti pengolahan nikel, sawit, dan mineral lainnya. Khusus untuk komoditas barang tambang tertentu misalnya batu bara, pemerintah bisa mengkaji adanya regulasi baru berupa pengenaaan pajak ekspor. Dengan kebijakan pajak ekspor ini diharapkan dapat mendorong upaya hilirisasi industri pendukung green economy.

Efisiensi anggaran dalam Inpres No. 1 Tahun 2025 harus dilakukan dengan pendekatan yang strategis dan terarah. Jika dilakukan dengan benar, efisiensi ini dapat meningkatkan produktivitas nasional, menurunkan ICOR, serta memperkuat stabilitas fiskal dan daya saing ekonomi Indonesia. Namun, jika kebijakan ini diterapkan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap investasi dan daya beli masyarakat, ada risiko bahwa efisiensi ini justru memperlambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengombinasikan kebijakan efisiensi anggaran dengan reformasi regulasi, peningkatan investasi dalam teknologi dan pendidikan, serta pemanfaatan keuangan syariah sebagai instrumen pembiayaan alternatif.

Dengan strategi yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing ekonomi, memperkuat stabilitas fiskal, dan menciptakan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan di masa depan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement