REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontaminasi mikroplastik dalam tubuh manusia tidak hanya menjadi ancaman bagi lingkungan, tetapi juga berdampak serius terhadap fungsi kognitif otak. Ketiadaan standar pengujian mikroplastik dalam pangan dan lingkungan memperburuk tingkat kontaminasi dalam tubuh manusia.
Dalam pernyataannya pada Ahad (23/2/2024), Greenpeace Indonesia mengacu pada laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bertajuk Policy Scenarios for Eliminating Plastic Pollution by 2040, yang menemukan bahwa volume sampah plastik global meningkat dua kali lipat, dari 213 juta ton menjadi 460 juta ton, antara tahun 2000 hingga 2019.
Di dalam negeri, persoalan sampah plastik juga menjadi tantangan besar. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat total produksi sampah mencapai 41,07 juta ton pada 2023. Dari jumlah tersebut, 7,86 juta ton atau hampir 20 persen merupakan sampah plastik. Meskipun sebagian sampah dikelola, mayoritas masih berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari lingkungan, termasuk lautan.
“Produksi sampah plastik yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang optimal telah menyebabkan pencemaran mikroplastik di berbagai aspek lingkungan, termasuk air, tanah, udara, serta produk konsumsi seperti ikan, daging, dan garam. Situasi ini semakin meningkatkan risiko kontaminasi mikroplastik bagi manusia,” ujar Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia, Afifah Rahmi Andini.
Studi yang dilakukan pada Januari 2023-Desember 2024 ini menemukan mikroplastik pada 95 persen sampel dari 67 partisipan dengan kadar per sampel darah berkisar antara 0-7.35 partikel per gram (p/g). Mikroplastik juga ditemukan dalam sampel urin partisipan dengan jumlah sekitar 0-0,33 partikel per mililiter (p/mL), serta pada feses dengan jumlah sekitar 0-44.35 partikel per gram (p/gr).
Penelitian ini juga menemukan bahwa PET (Polyethylene Terephthalate) adalah jenis mikroplastik yang paling banyak mengkontaminasi tubuh partisipan, dengan total 204 partikel terdeteksi. PET dapat bersumber dari penggunaan kemasan plastik sekali pakai seperti botol minuman, kemasan makanan siap saji, botol produk perawatan tubuh, hingga serat pakaian dan karpet.
Partikel mikroplastik yang berukuran tak lebih besar dari 5 milimeter dapat dengan mudah menyebar melalui rantai makanan, proses pengolahan limbah yang tidak sempurna, atau konsumsi makanan laut yang terkontaminasi.
Ahli Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Pukovisa Prawirohardjo, Sp.S(K)., Ph.D. mengatakan, hasil studi kolaborasi yang tengah dilakukan peer review ini menemukan partisipan dengan pola konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.
“Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan penelitian mencakup diantaranya pengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan,” ujarnya.
Fungsi kognitif partisipan dianalisis menggunakan Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina) dan dilakukan bersama tim dokter dari Divisi Neurobehavior Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM).
Untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik dalam lingkungan dan mengurangi dampaknya bagi kesehatan, Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia Ibar F. Akbar mengatakan, pemerintah dan produsen perlu mengambil langkah untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik dalam lingkungan yang memiliki dampak buruk ke kesehatan manusia.
“Pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan, mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai, melarang mikroplastik primer, serta mendorong transisi ke sistem kemasan guna ulang (reuse) untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah juga perlu menetapkan standar pengujian mikroplastik yang ketat serta ambang batas kontaminasi dalam produk pangan dan lingkungan. Di sisi lain, produsen juga perlu mengurangi produksi dan distribusi plastik sekali pakai secara signifikan sebagai bentuk tanggung jawab mereka untuk mengelola sampah plastik yang telah mereka produksi.
“Produsen harus segera beralih ke sistem kemasan guna ulang (reuse) dan isi ulang (refill). Produsen juga perlu meningkatkan transparansi komposisi plastik dalam produknya serta peta jalan pengurangan sampah oleh produsen,” kata Ibar.