REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Negara-negara yang berkumpul di Roma pada pekan lalu sepakat untuk mengumpulkan 200 miliar dolar AS per tahun pada tahun 2030. Dana itu untuk mencegah dan memulihkan kehancuran lingkungan.
Pertemuan Keanekaragaman Hayati PBB (COP16) di Kolombia pada Oktober 2024 gagal menyepakati sejumlah kesepakatan penting, termasuk siapa yang berkontribusi, berapa banyak uang yang perlu dikumpulkan dan siapa yang mengawasi dana perlindungan keanekaragaman hayati.
Presiden AS Donald Trump menarik keterlibatan Amerika Serikat dari pendanaan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, kesepakatan negara-negara pekan lalu disambut baik.
Dalam negosiasi yang dipimpin negara anggota BRICS - Brasil, Rusia, India dan Afrika Selatan, para delegasi sepakat untuk mengumpulkan 200 miliar dolar AS untuk dana keanekaragaman hayati dari berbagai sumber.
Presiden COP16 dan Menteri Lingkungan Kolombia Susana Muhammad memuji kesepakatan itu sebagai kemenangan bagi alam dan multilateralisme. Kesepakatan ini dicapai di tahun ketika lanskap politik semakin terfragmentasi dan ketegangan politik meningkat.
"Dari Cali hingga Roma, masih ada harapan memungkinkannya kebaikan bersama, perlindungan bagi lingkungan dan kehidupan dan kemampuan untuk bersatu demi sesuatu yang lebih besar dari kepentingan nasional," kata Muhammad, akhir pekan lalu.
Para delegasi juga sepakat mengeksplorasi kemungkinan dibutuhkannya dana keanekaragaman yang lain seperti yang diminta beberapa negara berkembang. Mereka juga menjajaki apakah dana yang sudah ada seperti Global Environment Facility (GEF) sudah cukup. GEF menyediakan lebih dari 23 miliar dolar AS pada ribuan proyek perlindungan alam pada 30 tahun terakhir.
"Semua orang memiliki semangat berkompromi untuk membuat konsesi dan secara umum bagi negara-negara berkembang hasilnya cukup positif, saya keluar dari pertemuan dengan senang dan optimistis," kata direktur Departemen Lingkungan, Kementerian Luar Negeri Brasil, Maria Angelica Ikeda.
Kebutuhan untuk lebih banyak bertindak dalam melindungi keanekaragaman hayati semakin menguat beberapa tahun terakhir. Dalam laporan Living Planet Report pada 2024 data organisasi lingkungan WWF menunjukkan, populasi satwa liar turun 73 persen dari tahun 1970.
Walaupun AS tidak menandatangani konvensi keanekaragaman hayati, tapi negara itu pemberi dana terbesar untuk upaya-upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan alam. Langkah Trump membekukan bantuan luar negeri AS mengancam upaya pencegahan perburuan gading di Afrika Selatan.
Pemangkasan bantuan ini juga menimbulkan kekhawatiran AS tidak akan berpartisipasi dalam pengisian dana GEF berikutnya. Turunnya dana bantuan ini juga terasa di ruang-ruang negosiasi dan menimbulkan rasa frustrasi.
Sejumlah negara, mulai dari Brasil sampai Mesir dan Panama, khawatir negara-negara tidak memenuhi kewajiban mereka untuk menyalurkan dana hibah. Data OECD terbaru mengestimasi pendanaan perlindungan keanekaragaman hayati mendapat 15,4 miliar dolar AS pada 2022 lalu, sekitar 83 persen diantaranya berasal dari dana publik.
Kepala kebijakan Zoological Society of London Georgina Chandler mendesak negara-negara memenuhi komitmen mereka untuk menyalurkan 30 miliar dolar AS per tahun pada 2030 untuk mencegah dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati.
Kesepakatan di Roma membantu menjabarkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengimplementasikan kesepakatan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global (Global Biodiversity Framework/GBF) Kunming-Montreal, yang disepakati pada tahun 2022 dan mengikat negara-negara untuk mencapai berbagai target lingkungan.
Negara-negara juga menyepakati seperangkat aturan teknis untuk memantau kemajuan menuju GBF dan menjamin komitmen negara-negara untuk menerbitkan laporan nasional tentang rencana keanekaragaman hayati mereka untuk perundingan alam COP17.