REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
Transaksi Berjalan merupakan neraca perdagangan barang dan jasa dalam arti luas. Cakupannya melebihi Neraca Perdagangan publikasi Badan Pusat Statistik yang hanya mencatat perdagangan barang ditambah sebagian jasa terkait langsung dalam transaksi barang. Transaksi berjalan juga memasukkan arus penerimaan dan pembayaran atas keseluruhan jasa dalam transaksi internasional.
Transaksi Berjalan yang defisit artinya nilai impor barang dan jasa Indonesia melebihi nilai ekspornya, dan sebaliknya jika surplus. Indonesia lebih sering mengalami defisit, sebagai berikut: era 1981-1997 selalu defisit, era 1998-2011 selalu surplus, era 2012-2020 selalu defisit, pada 2021 dan 2022 dialami surplus, pada 2023 dan 2024 kembali defisit.
Transaksi berjalan yang lebih sering defisit, apalagi dengan nilai besar, mengindikasikan ketahanan eksternal perekonomian Indonesia tidak terlampau kuat. Defisit itu bisa menggerus cadangan devisa dan melemahkan nilai tukar rupiah. Berakibat pula pada tidak optimalnya kontribusi ekspor barang dan jasa pada pertumbuhan ekonomi.
Presiden Prabowo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomer 12 tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. RPJMN dilengkapi dengan lampiran yang merupakan analisis Pemerintah tentang kondisi terkini kehidupan bernegara, termasuk bidang ekonomi. Bagian yang paling penting adalah proyeksi berbagai indikator ekonomi, yang bisa dianggap sebagai target pemerintahan Prabowo hingga 2029.
Salah satu indikator yang disajikan adalah Transaksi Berjalan beserta empat komponennya yang juga merupakan neraca. Transaksi Berjalan diproyeksikan melebar hingga 25,80 miliar dolar AS atau 1,09 persen dari PDB pada 2029. Hal ini bersesuaian dengan proyeksi IMF yang sedikit lebih lebar, yakni 29,04 miliar dolar AS (1,43 persen).
Proyeksi atau target ini bisa dibilang aneh dan tidak bersesuaian dengan narasi dokumen. RPJMN mengatakan akan mengandalkan ekspor bagi pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat ketahanan eksternal. Perlu diingat bahwa realisasi RPJMN di masa lalu biasanya di bawah target.
Komponen pertama Transaksi Berjalan adalah neraca barang, yang pada 2029 diproyeksikan sebagai berikut: ekspor (402,95 miliar dolar AS) yang meningkat 53,91 persen dari 2024; impor (371,85 miliar dolar AS) yang meningkat 67,59 persen dari 2024; dan surplus barang (31,10 miliar dolar AS) menurun 22,11 persen dari 2024. Anehnya, target surplus perdagangan barang kok malah menurun.
Komponen kedua adalah neraca jasa-jasa, yang pada 2029 diproyeksikan sebagai berikut: ekspor (68,59 miliar dolar AS) meningkat 75,88 persen dari 2024; impor (83,82 miliar dolar AS) meningkat 45,35 persen dari 2024; Defisit (US$15,23 miliar dolar AS) menurun 18,41 persen dari 2024. Target cukup berat namun masih cukup realistis. Sayang, tidak didukung narasi strategi pengembangan jasa yang bisa diekspor (tradeable), hanya berharap pada pariwisata.
Komponen ketiga adalah neraca neraca Pendapatan Primer, yang pada 2029 diproyeksikan alami defisit (53,00 miliar dolar AS) meningkat 46,85 persen dari 2024. Proyeksi defisit yang selebar itu melampaui tren historis peningkatan defisit selama ini. Bisa diartikan sebagai pengakuan makin besarnya biaya jasa modal asing yang masuk ke Indonesia di masa mendatang.
Komponen keempat adalah neraca Pendapatan Sekunder, yang pada 2029 diproyeksikan alami surplus 11,37 miliar dolar AS atau meningkat 90,23 persen dari kondisi 2024. Target ini kurang realistis, dilihat dari kondisi tahun 2019 yang surplusnya meningkat 46,15 persen dibanding 2014. Bahkan, surplusnya turun pada 2024 dibanding 2019.
Dalam narasi dokumen RPJMN juga tidak dikemukakan strategi baru mendorong dalam mengelola Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Remitansi TKI yang merupakan kontribusi utama dalam penerimaan pendapatan sekunder seolah bukan bagian dari kebijakan Pemerintah. Pada saat bersamaan, tidak diakui bahwa berkurangnya surplus era 2019-2024 disumbang pula oleh peningkatan remitansi Tenaga Kerja Asing.
Secara umum, penulis mencermati dokumen RPJMN 2025-2029 lampiran I berkesimpulan target kuantitatif dari Transaksi Berjalan justru tidak bersesuaian dengan narasinya. Tidak mendukung keinginan mengandalkan ekspor bagi pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat ketahanan eksternal. Narasinya normatif dan dipenuhi dengan keinginan atau sekadar harapan.