REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjanjian Paris bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius, dengan upaya menahan pada 1,5 derajat Celsius dari masa pra-industri. Tetapi, kondisi saat ini menyebabkan kenaikan suhu sebesar 2,7 derajat Celsius pada akhir abad ini, yang menjadikan perlunya investasi signifikan dan penyesuaian pasar.
Seiring dengan meningkatnya urgensi tersebut, pasar karbon menjadi sangat penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), dan Indonesia memainkan peran kunci dalam solusi iklim global.
PwC Indonesia menerbitkan publikasi berjudul "Indonesia Carbon White Paper" yang membahas potensi pasar karbon untuk meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDCs) Indonesia dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Publikasi yang disusun atas kerja sama dengan Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA) ini menyoroti target Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 915 juta ton karbon dioksida per tahun pada tahun 2030. Tapi pada 2022 lalu Indonesia baru bisa memangkas 429 juta ton karbon.
Dalam dokumen itu, PwC Indonesia mengatakan bahwa untuk mencapai target tersebut, diperlukan dana sekitar 281,23 miliar dolar AS, yang melebihi kapasitas anggaran negara. Tantangan lainnya adalah harga karbon yang saat ini rendah menghambat pengurangan emisi yang optimal dan pengembangan mekanisme pasar karbon yang masih kurang berkembang.
PwC Indonesia Partner and Sustainability Leader Yuliana Sudjonno menekankan pentingnya pasar karbon yang kuat. Ia mengatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama di pasar karbon global. "Dengan mengembangkan kerangka Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Monitoring, Reporting, and Verification/MRV) yang diakui secara internasional dan menyelaraskan metodologi proyek karbon kita dengan standar global, Indonesia dapat meningkatkan kredibilitas kredit karbon Indonesia dan mendukung ekspor internasional yang lancar," kata Yuliana dalam pernyataannya, Kamis (13/3/2025).
Yuliana mengatakan sangat penting bagi Indonesia untuk meningkatkan transparansi informasi proyek dalam SRN-PPI (Sistem Registri Nasional-Pengendalian Perubahan Iklim). Karena, tambahnya, dengan menyediakan detail proyek yang komprehensif seperti registri internasional dapat membangun kepercayaan yang lebih besar dari para pemangku kepentingan dan menarik investor internasional.
Panduan yang jelas tentang perlakuan akuntansi dan pajak untuk transaksi kredit karbon juga diperlukan untuk memastikan pengukuran dan pelaporan yang konsisten dan akurat.
Selain itu, dalam publikasi ini PwC menyarankan Indonesia memanfaatkan teknologi canggih seperti blockchain untuk pencatatan data yang transparan dan analisa real-time guna meningkatkan sistem registri SRN-PPI. Kemajuan teknologi ini diharapkan dapat memungkinkan pelacakan dan verifikasi kredit karbon yang akurat, sehingga meningkatkan keandalan dan efisiensi sistem.
"Dengan memperjelas dukungan regulasi terhadap pengembangan pasar karbon dan meningkatkan transparansinya, Indonesia dapat menarik investor internasional dan mempromosikan keberlanjutan jangka panjang pasar karbonnya," kata Yuliana.