
Oleh : Prof Firman Noor, Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Politik BRIN
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu ikon kehidupan politik nasional dari Era Reformasi. PKS merupakan salah satu semangat perubahan dalam kungkungan kelam dan sesak dari rezim lama bernama Orde Baru, ketika pengkultusan terhadap Soeharto dan otoritarianisme sedemikian menggejala di segenap aspek kehidupan. Dalam makna antitesis terhadap tendensi otoritarianisme dan pengkultusan Soeharto itu, PKS menjadi harapan baru, khususnya terhadap sistem politik usang Orde Baru, yang kerap disebut sebagai Mataram II. Sehingga sejak kehadirannya, PKS sejatinya tidak saja lahir dari kebaruan semangat Reformasi itu sendiri, namun pula turut mewarnai dan memberikan aksentuasi di dalamnya.
Terkait dengan kiprahnya itu, salah satu hal yang selama ini dicermati secara empiris oleh banyak kalangan adalah terkait dengan bagaimana partai ini mampu menjaga aspek pelembagaannya dengan sungguh-sungguh. Beberapa kajian lama maupun terbaru memperlihatkan itu. Analisis yang dilakukan oleh Dirk Tomsa (2008) maupun Firman Noor (2025), misalnya, memperlihatkan adanya konsistensi partai dalam menjalankan pelembagaan dengan baik. Hasil studi kuantitatif yang dilakukan oleh Tim Partai Politik, Pusat Riset Politik BRIN (2024) juga memperlihatkan kesimpulan yang sama, bahkan menempatkan PKS sebagai partai dengan partai dengan skor pelembagaan partai terbaik di Indonesia saat ini.
Salah satu hal yang paling monumental dalam soal pelembagaan itu adalah bagaimana partai ini mampu menempatkan prosedur di atas figur. Berbeda dengan partai-partai lain yang mengalami sindrom “one man show” atau dalam istilah teoritisnya mengalami “personalized party” (partai yang dipersonalisasikan oleh pimpinan dan atau elite) PKS hingga sejauh ini mampu dengan baik menghindarinya. Terdapat beberapa momen dalam PKS yang memperlihatkan bagaimana tokoh-tokoh besar dan berpengaruh sekalipun dalam partai ini harus berkompromi dengan berbagai pihak. Mereka menyadari bahwa situasi internal partai demikian khas sehingga titah atau fatwa individu saja tidak berarti banyak dalam memutuskan kebijakan partai, termasuk dalam menjalankan kehidupan partai sehari-hari.
Bahkan terdapat beberapa momen ketika kehendak pimpinan partai tidak sejalan dengan kehendak mayoritas anggota partai, dan kemudian dapat dikalahkan oleh kehendak mayoritas itu. Fenomena ini misalnya terlihat dalam pilihan akan mengusung Amien Rais atau Wiranto pada Pilpres 2004. Dimana akhirnya pilihan dijatuhkan kepada Amien Rais yang tidak didukung oleh pimpinan termasuk sekjen PKS. Muncul kemudian pernyataan yang menyejarah dari KH Hilmi Aminuddin bahwa keputusan siapa yang menjadi pilihan calon presiden dari PKS adalah domain Majelis Syuro dan bukan Ketua Majelis Syuro.
Kenyataannya bukan hal yang aneh jika pimpinan bahkan di level Majelis Syuro menghadapi nuana musyawarah yang demikian tajam untuk memutuskan suatu perkara. Bahkan seorang incumbent bisa saja dikalahkan dan atau nyaris kalah dengan suara tipis aja dalam pemilihan ketua pada periode berikutnya. Tradisi yang demikian positif itu membekas dan dihargai tinggi dalam tidak saja bagi para pelakunya, yakni kader-kader PKS. Namun juga bagi sebagian masyarakat terdidik, rakyat kebanyakan yang kritis, maupun para akademisi dan pengamat politik yang mendalami soal-soal kepartaian di Indonesia.
Tendensi Kekinian: Menuju Partai Biasa?
Namun demikian, tentu tidak ada gading yang tidak retak. Dalam persoalan pelembagaan (institusionalisasi) partai politik, yang secara singkat dapat adalah kemampuan partai secara konsisten dalam melaksanakan aturan/prosedur dan nilai-nilai (values) tradisi yang dianut, terdapat juga fenomena yang disebut “Deinstitusionalisasi Partai”. Kebalikan dari institusionalisasi partai, fenomena ini merupakan kemunduran kemampuan bersikap konsisten atas hal tersebut di atas. Fenomena ini terjadi, misalnya, pada Partai Kongres di India saat dipimpin oleh Indira Gandhi.

Saat ini popularitas Indira demikian tingginya, sehingga dia dan para pendukung fanatiknya merasa lebih penting dari partai. Akibatnya Partai Kongres mengalami personalisasi, dimana tata kelolanya lebih ditentukan oleh selera dan kepentingan Indira. Akibatnya Partai Kongres yang tadinya demikian disegani dan termasuk yang modern di zamannya, mengalami kemunduran dari sisi pelembagaan partai. Partai yang tadinya demikian moncer dan solid, perlahan mengalami kekecewaan demi kekecewaan internal dan akhirnya terus mengalami kemunduran.
Partai ini kemudian seolah menjadi milik keluarga, yang terlihat dari penerus pimpinan dari partai ini yang merupakan anak, bahkan menantu, dari Indira Gandhi. Saat ini, Partai Kongres tidak pernah lagi muncul sebagai pemenang. Berada dalam bayang-bayang partai fundamentalis Bhartiya Janata Party (BJP). Meski tentu saja banyak faktor yang menyebabkan hal itu, namun pengelolaan partai yang semakin mengalami personalisasi merupakan variabel yang tidak dapat diabaikan.
Indonesia saat ini merupakan lahan subur bagi praktik politik nepotis. Fenomena pentingnya “Ordal” (Orang Dalam) sebagaimana yang kerap disebutkan oleh Capres Anies Baswedan saat kampanye Pilpres 2024 dulu merupakan cerminan dari budaya dan sikap pemikiran nepotisme. Ini bukan barang baru di era reformasi. Tapi grafiknya terus menanjak. Lihatlah bagaimana para calon kepala daerah dalam ajang pemilihan kepala daerah yang sebagiannya terafiliasi dengan dinasti politik. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan bahwa dalam Pilkada 2024 sekitar 26 persen peserta pilkada terkait erat dengan Dinasti Politik. Kalau di level nasional, ya cukuplah keberadaan Wakil Presiden menjadi contoh gamblang atas praktik politik nepotis ini.
Situasi dan praktik ini tentu sejatinya merupakan pengkhianatan terhadap hakekat Reformasi, yang berintikan salah satunya adalah sikap untuk anti KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Dapat dikatakan bahwa anti-KKN merupakan raison d’etre bagi kesadaran dan bangkitnya semangat Reformasi melawan Rezim Soeharto. Namun ironisnya, sudah banyak elemen reformasi yang berbalik arah, baik secara diam-diam atau terang-terangan, yang justru mendukung praktik KKN. Termasuk terjadi di dalam sebagian partai-partai politik kita saat ini. Potensi berbalik arah semacam itu tampaknya bukanlah semakin mengecil, namun membesar melahirkan semacam kebangkitan kembali fenomena KKN.
Terjadinya “Revitalisasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” kenyataanya saat ini menjadi fenomena tersendiri. Kehadirannya dalam kehidupan politik semakin mudah untuk dilakukan oleh beberapa hal, di antaranya adalah karena (1) mentalitet politisi yang semakin haus kekuasaan, (2) bekerjanya mesin dan proxy politik oligarki, dan (3) rakyat yang semakin permisif dan ignorance (tidak peduli). Apalagi payung moral dan etika berpolitik sudah semakin menjudi barang mahal di sebagian elit dan pimpinan politik kita.
Sehubungan dengan itu, bagaimana sepatutnya PKS menyikapi arah politik yang semakin mengalami stagnasi atau bahkan regresi dalam hal kualitas demokrasi itu? Pilihannya ada dua. Pertama, melanjutkan menjadi partai yang mampu tetap menjaga marwah pelembagaannya dan dikenang sebagai contoh hidup (living legend) sebuah partai modern yang kompatibel bagi perjuangan menegakan demokrasi. Atau, kedua, menjadi partai biasa-biasa saja yang ikut arus, yang berorientasi kekuasaan dan pemburu jabatan (office seeking) semata. Partai yang akan melakukan apapun demi berkuasa meskipun dibayar dengan tergerusnya pelembagaan partainya, hancurnya merit sistem mampu mematikan tradisi demi kenikmatan kekuasaan.
Banyak partai yang saat ini sejatinya telah kehilangan muka dengan bersikap acuh dalam menjaga pride (kebanggaan) sebagai partai. Mereka rela bahkan untuk mengorbankan sikap untuk konsisten dalam mengawal semangat hukum (spirit of law), memelihara kedaulatan aturan main dan menjalan merit system; hanya demi terus berada dalam lingkaran kekuasaan.

Urgensi Rasionalitas
Max Weber (1864-1920), seorang sosiolog dari Jerman, pernah berargumen untuk membangun demokrasi yang baik diperlukan partai politik yang baik. Kedekatan keduanya tidak dapat dipisahkan sehingga dia mengatakan bahwa partai politik bak “anak kandung demokrasi”. Dengan pandangan itu kita bisa menafsirkan bahwa tidak mungkin demokrasi akan tercipta, jika partai politik sebagai elemen penjaga utamanya tidak dikelola dalam nuansa kebatinan yang juga menghargai dan menjalankan demokrasi.
Dalam hal ini dibutuhkan konsistensi dalam memahami dan menjalankan demokrasi. Demokrasi itu sendiri adalah sistem yang sebagian besarnya rasional atau logis. Menurut Shawn Rosenberg (dalam Shenkman 2019), demokrasi mensyaratkan sebuah kerja keras, terutama sikap mau untuk berfikir matang dan rasional. Mengapa demokrasi saat ini banyak gagal, karena dilaksanakan dengan tidak menggunakan rasional yang visioner, melainkan pada pendekatan emosional pragmatis jangka pendek. Sehingga alih-alih menghadirkan kehidupan dan kontestasi politik yang rasional, demokrasi justru menghasilkan pemimpin populis yang berpolitik secara kerdil (tidak mencerahkan), demi memenangkan kontestasi dan meraih jabatan kekuasaan.
Hal yang kemudian paling terkorbankan adalah semangat berpolitik jangka panjang dalam spirit konstitusionalisme dan merit system. Dalam Islam merit sistem adalah bagian dari keadilan dalam berpolitik, yakni dengan menempatkan seseorang berdasarkan kapasitasnya. Untuk itu, demi menjaga agar terjadi sebuah kontinuitas yang elegan, PKS harus mampu secara konsisten merasionalisasi tradisi dan kebiasaannya dalam menata kelola partai.
Rasionalisasi itu diarahkan setidaknya pada beberapa hal. Pertama, terus dilakukannya pembatasan kekuasaan bagi pimpinan partai. Pembatasan kekuasaan ini akan melahirkan budaya demokrasi di dalam PKS, yang saat ini semakin dibutuhkan tidak saja oleh partai tapi oleh negara kita yang semakin terjerembab pada elitisme. Saking kuatnya elitisme telah melahirkan beberapa istilah seperti “elitist democracy”, “post-democracy” atau “pseudo democracy”. Pembatasan kekuasaan juga penting untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan terhadap sosok tertentu. Tanpa dibatasi saja kekuasaan sudah bertendensi korup, apalagi jika dibiarkan untuk benar-benar berkuasa secara total atau tanpa batas. Ingat pesan monumental dari Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.
Selain itu, jika sebuah partai tidak mampu mencari pembenaran akan akan pembatasan kekuasaan dalam dirinya, bukan tidak mungkin lambat lau partai akan menjadi mesin politik anti-demokrasi yang buas. Yang dapat memakan para kader-kadernya sendiri dan menjadi proxy atau pendukung yang loyal bagi praktik kekuasaan yang anti-demokrasi. Sebagaimana yang diingatkan oleh Max Weber bahwa demokrasi di sebuah bangsa tidak akan berjalan jika partai-partai politiknya tidak menghayati dan menjalani demokrasi dengan sungguh-sungguh.

Kedua, rasionalitas atas perlunya regenerasi. Penguatan sebuah organisasi atau partai sesungguhnya terkait dengan kemampuan untuk bersikap adaptif dan agile, yang memungkinkan dia bergerak lebih cepat, fleksibel dan relevan. Sebuah organisasi yang mengalami kemandegan dalam soal regenerasi akan hidup di masa lampau dan menciptakan stagnasi yang hanya akan melahirkan konservatisme nir relevansi bagi kehidupan yang terus bergerak dan amat dinamis. Pada praktiknya ini berarti adanya regenerasi dalam tubuh partai. Partai-partai modern pada umumnya sadar akan arti penting pergantian kekuasaan. Sehebat apapun Winston Churchill pada Partai Konservatif Inggris, misalnya, tetap pada akhirnya harus digantikan oleh generasi muda penerusnya.
PKS tentu saja sudah selangkah lebih maju dalam menyiapkan pergantian kekuasaan yang kontinum dibanding partai-partai lain. Indikasinya adalah bekerja kaderisasi. Salah satu hakikat kaderisasi adalah terbangunnya sebuah mekanisme mempersiapkan pemimpin masa depan yang lebih relevan di zamannya. Kaderisasi dengan demikian adalah “penyiapan atas suksesi kepemimpinan yang berkelanjutan”. Dengan demikian adalah sebuah kesia-sian, bahkan kemubaziran, jika praktik panjang kaderisasi di dalam tubuh PKS tidak berkorelasi dengan suksesi yang berkelanjutan.
Saat ini tentu sudah demikian banyak stok kader yang sudah semakin layak berkiprah, sesuai dengan elan vital zamannya. Tanpa adanya regenerasi yang kontinu, termasuk pada aras pimpinan, PKS sejatinya akan menyia-nyiakan “modal dasar” yang sudah dimilikinya sebagai sebuah partai modern. Berikut dengan implikasi potensi negatif yang demikian kompleks, tidak saja berpotensi menghadirkan stagnasi dalam kelanjutan kehidupan partai secara internal, namun juga gagal berkontribusi dalam menjaga dan memelihara hakikat demokrasi bangsa.
Penutup: Harapan Ke Depan
PKS sebagai sebuah partai yang sejauh ini masih dipandang dalam koridor partai terlembaga yang relatif rasional tentu tetap membawa asa bagi bangsa ini. Karena itu PKS hendaknya menyadari dirinya sebagai aset bangsa yang harus terus mempertahankan dan mengasah kebaikan dan capaian maupun citra yang sudah dimilikinya. Salah satunya adalah mempertahankan hakikat partai yang terlembaga dan tidak bergantung pada “one man show”, melainkan seluruh kadernya. Konsistensi menjalankannya tentu penuh tantangan, apalagi dalam atmosfer kehidupan politik kita yang semakin pragmatis dan bertindak menghalalkan segala cara (by all means).
Namun manakala PKS, yang saat ini akan menjalankan Pemilihan Raya Majelis Syura, dapat menjaga spirit kepemimpinan dalam nuansa kolektivisme dan egalitarianisme yang kental, maka langkah menuju revitalisasi berdasarkan kompetensi dan kebaruan tetap terbuka lebar. Keberhasilan dalam menghadirkan hal tersebut pada gilirannya tidak saja akan mempertahakan citra dan marwah partai, sebagai partai Islam yang modern, namun juga akan semakin menyolidkan partai karena tidak ada pihak yang merasa ditinggalkan (left behind). Sejarah bangsa akhirnya membuktikan bahwa partai politik yang hebat dan besar adalah partai politik yang mampu dengan dengan baik menjaga soliditasnya.
Begitupun dengan tetap berlangsungnya merit system dalam partai ini. Dengan mempertahankan semangat ini PKS berpotensi besar akan tetap berada dalam koridor sebuah partai modern yang berkomitmen menghargai makna “kaderisasi” dan penjenjangan. Ini jelas merupakan sesuatu yang krusial karena dari sanalah modal dasar kepemimpinan yang arif, bijak dan egaliter dipertahankan. Kesemuanya itu jelas merupakan modal dasar bagi upaya menjemput kejayaan partai di masa-masa yang akan datang. Tanpa modal dasar seperti itu tentu upaya untuk meningkatkan kualitas partai maupun demi berkhidmat bagi rakyat tentu akan sulit untuk dilakukan.
Hal yang pasti, PKS harus menghindari untuk tidak terjerembab menjadi partai “biasa-biasa saja” (ordinary party). Partai yang sepintas kelihatan mentereng, namun terbukti tidak saja gagal memberikan nilai lebih bagi keutuhan partai secara alamiah, maupun bagi usaha pemeliharaan demokrasi, penciptaan keadilan dan peningkatan kualitas hidup rakyat yang maksimal.