Ahad 15 Jun 2025 15:21 WIB

Pengamat Tantang Keberanian Pramono untuk Terapkan Sistem Jalan Berbayar di Jakarta

Tak ada alasan lagi bagi Pemprov untuk menerapkan sistem jalan berbayar.

Rep: Bayu Adji P / Red: Karta Raharja Ucu
Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (13/10/2024). Menurut Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik (SPBE) Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Zulkifli mengatakan kerugian akibat kemacetan mencapai Rp100 triliun per tahun. Kerugian tersebut dihitung berdasarkan dampak terhadap warga dari aspek kesehatan akibat polusi dan travel time serta aspek biaya operasional kendaraan seperti biaya bahan bakar. Kemacetan yang sering terjadi di Jakarta diakibatkan masih minimnya warga menggunakan transportasi umum untuk bepergian, mengingat jumlah perjalanan di Jakarta mencapai 21 juta perjalanan, namun hanya 4 juta perjalanan atau 18,86 persen perjalanan menggunakan transportasi umum. Sementara Pemprov DKI Jakarta menargetkan jumlah perjalanan menggunakan teransportasi umum mencapai 30 persen pada 2023 mendatang.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (13/10/2024). Menurut Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik (SPBE) Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Zulkifli mengatakan kerugian akibat kemacetan mencapai Rp100 triliun per tahun. Kerugian tersebut dihitung berdasarkan dampak terhadap warga dari aspek kesehatan akibat polusi dan travel time serta aspek biaya operasional kendaraan seperti biaya bahan bakar. Kemacetan yang sering terjadi di Jakarta diakibatkan masih minimnya warga menggunakan transportasi umum untuk bepergian, mengingat jumlah perjalanan di Jakarta mencapai 21 juta perjalanan, namun hanya 4 juta perjalanan atau 18,86 persen perjalanan menggunakan transportasi umum. Sementara Pemprov DKI Jakarta menargetkan jumlah perjalanan menggunakan teransportasi umum mencapai 30 persen pada 2023 mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati transportasi, Muhammad Akbar, menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta telah siap untuk menerapkan sistem jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP). Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi Pemprov Jakarta untuk menerapkan sistem jalan berbayar untuk kendaraan pribadi.  

Akbar mengatakan, penerapan ERP bukanlah sekadar wacana tanpa payung hukum. Menurut dia, regulasi untuk menerapkan sistem itu telah tercantum dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang manajemen dan rekayasa lalu lintas. 

"Artinya, secara regulasi, tidak ada lagi alasan untuk menunda," kata dia melalui keterangannya, Sabtu (14/6/2025).

Selain itu, ia mengatakan, Jakarta telah memiliki infrastruktur transportasi yang baik dengan adanya MRT, LRT, Transjakarta, hingga Mikrotrans. Seluruh moda itu dinilai telah terintegrasi, baik secara fisik melalui titik-titik simpul perpindahan, maupun secara tarif melalui sistem pembayaran yang lebih praktis dan menyatu.

Akbar menambahkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta juga telah memiliki infrastruktur teknologi untuk menerapkan sistem ERP. Teknologi itu disebut bisa dengan mudah diadaptasi untuk mendukung sistem ERP, mulai dari deteksi kendaraan hingga pencatatan transaksi secara otomatis.

"Jika semua prasyarat tersebut sudah terpenuhi, maka hambatan terbesar dalam penerapan ERP saat ini bukan lagi soal teknis. Tantangan utama kini adalah faktor politik dan sosial, yakni keberanian pengambil kebijakan untuk bertindak, serta kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan," kata dia. 

Ia mengakui, penerapan ERP tentu tidak akan bebas dari penolakan. Beberapa pihak dinilai pasti akan menyuarakan keberatan. 

Namun, penolakan itu bisa diatasi dengan baik asalkan Pemprov Jakarta dapat menjawab kekhawatiran mereka secara terbuka dan argumentatif. Pemprov Jakarta juga perlu menjelaskan bahwa ERP bukan pajak tambahan, melainkan mekanisme pengelolaan ruang jalan secara adil, di mana biaya kemacetan tidak lagi ditanggung bersama, tapi oleh mereka yang memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi. 

"Pada akhirnya, ERP ini bukan untuk menghukum pengendara, tapi untuk menyelamatkan masa depan kota Jakarta yang kita tinggali bersama. Perubahan selalu ditakutkan pada awalnya, tapi bisa diterima ketika manfaatnya terlihat jelas," ujar Akbar.

Menurut dia, sudah terlalu lama rencana penerapan pembatasan kendaraan pribadi melalui ERP hanya menjadi sekadar wacana. Sementara itu, kemacetan terus memburuk dari tahun ke tahun. Hal itu juga diikuti dengan polusi udara makin tinggi, dan angkutan umum yang seharusnya menjadi solusi justru ikut tersendat di jalan yang sama. Padahal, semua prasyarat untuk menerapkan ERP sudah tersedia.

"Yang kurang hanyalah kemauan politik dan tekanan publik. Kuncinya, berani untuk memulai, tidak perlu menunggu sempurna di awal, lalu sambil terus diperbaiki dan disempurnakan pelan-pelan," kata dia. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement