
Oleh : Iwan Rudi Saktiawan, CIRBD, Pengamat Ekonomi Syariah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Frasa kapitalisme ugal-ugalan mencuat saat dicetuskan Presiden Prabowo di sesi pleno St. Peterburg International Economic Forum (SPIEF), 20/06/2025.
Kapitalisme ugal-ugalan yang ia sampaikan, merujuk kepada sistem ekonomi kapitalis yang tidak terkendali dan cenderung mengejar keuntungan tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan. Sistem ekonomi tersebut, dalam bahasa gaul, “yang penting gue untung, gak peduli yang lain buntung.”
Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776), mengenalkan salah satu motif berekonomi yakni self-interest atau kepentingan diri. Motif inilah yang menjadi pilar kapitalisme. Motif ini kemudian sering menjadi egoisme dan keserakahan dalam berekonomi, karena dalam kapitalisme (murni) tidak ada batasan atau bahkan etika. Dengan demikian, terjadilah pelaksanaan ekonomi yang yang mementingkan kepentingan sendiri meski merugikan pihak lain.
Egoisme dan keserakahan berekonomi, dalam beberapa kajian, diungkapkan sebagai karakter dari kapitaliems ugal-ugalan. Kajian tersebut diantaranya adalah buku "Capitalism: What Has Gone Wrong?" karya Martin Hellwig (2021). Hellwig secara implisit dan eksplisit mengkritik aspek-aspek kapitalisme yang memungkinkan (dan bahkan mendorong) perilaku serakah dan egois, terutama dalam konteks sektor keuangan.
Keserakahan dan egoisme berekonomi nampaknya juga sudah menjangkiti banyak orang di Indonesia. Bentuknya misalnya dapat dilihat dari beroperasinya perusahaan yang merusak lingkungan, persaingan tidak sehat, dan lain-lain. Dalam skala kecil atau bentuk awal, wujud keterpaparannya adalah tertanamnya keserakahan dan egoisme berekonomi sebagai sebuah paradigma. Tertanamnya paradigma tersebut dapat dilihat dari kalimat-kalimat spontan, yang mungkin tidak asing terdengar oleh kita.
“Udah, gak usah repot-repot mikirin orang lain rugi atau tidak. Jalankan aja bisnisnya. Bisnisnya bisa jalan aja udah syukur, jangan dipersulit lagi.”
“Nyari untung itu, tidak bisa sekaligus berbuat baik. Cari untung aja dulu, berbuat baik untuk orang lain kita pikirkan kemudian.”
Dua kalimat tersebut mencerminkan paradigma ketidakpedulian kepada yang lain dalam berbisnis, termasuk tidak peduli apakah merugikan orang lain atau tidak. Ketika orang-orang yang berparadigma itu memiliki kekuasaan atau sumberdaya ekonomi, paradigma tersebut tidak lagi berwujud kata-kata, namun kerugian besar bagi masyarakat dan lingkungan.
Oleh karena itu, gerakan perubahan paradigma perlu dilakukan selain gerakan melawan bisnis yang merusak lingkungan dan sosial. Sehingga perbaikan atas potensi kerusakan yang terjadi tercerabut dari akar-akarnya. Perlu ditanamkan bahwa mengambil keuntungan tidak harus merugikan orang lain, bahkan sebaiknya sekaligus menguntungkan orang lain.
Ekonomi Syariah (Eksyar) Melarang Merugikan Orang Lain
Keserakahan dan egoisme ekonomi berbahaya. Tidak hanya merugikan secara ekonomi, namun juga secara sosial dan politik karena berpeluang besar dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu perlu diterapkan paradigma ekonomi yang tidak serakah dan egois. Paradigma tersebut telah dimiliki Indonesia karena telah menjadi bagian di Asta Cita ke-2. Selain itu, paradigma tersebut ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025- 2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025 – 2029. Paradigma ekonomi yang tidak egois dan tidak serakah yang penulis maksud adalah ekonomi syariah (Eksyar).
Meskipun Eksyar dikembangkan dari ajaran Islam, namun merupakan sistem yang inklusif, bisa untuk muslim dan non muslim. Hal ini karena dalam Islam, eksyar ada dalam ranah muamalah yang inklusif berbeda misalnya dengan shalat dan puasa yang masuk ke ranah ibadah khusus yang eksklusif. Ketentuan ibadah khusus hanya berlaku oleh dan untuk muslim saja.
Eksyar tidak melarang mencari untung dan menjadi kaya. Dalam Eksyar, harta adalah pokok kehidupan (Alquran surat An Nisa ayat 5). Dalam Eksyar menjadi kaya adahal hal yang baik ketika cara memperolehnya dan pengelolaannya benar dan baik. Salah satu indikator memperoleh kekayaan yang dibolehkan adalah tanpa memudharatkan atau merugikan orang lain.
"Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain." (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni).
Penjelasan prinsip Eksyar yang tidak boleh merugikan lain, diantaranya diuraikan lebih lanjut dalam buku karya Monzer Kahf, The Economic Functions of the Islamic State (1999). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Eksyar didasarkan pada dua prinsip utama, yaitu persaudaraan (ukhuwah) dan keadilan ('adl). Persaudaraan mewujudkan suasana saling tolong-menolong dan saling menghargai, sedangkan keadilan mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta mencegah eksploitasi dan kerugian bagi pihak lain. Oleh karena itu, laba dalam eksyar tidak boleh dihasilkan dari kerugian pihak lain.
Pertanyaan kritisnya, apa bisa mengambil keuntungan tanpa merugikan orang lain bahkan sekaligus menguntungkan orang lain? Jawabannya, bisa, dan sudah ada buktinya!
Kebaikan Untuk Semua
Salah satu contoh meraih keuntungan yang sekaligus menguntungkan orang lain adalah transformasi yang dilakukan pada PT Kereta Api Indonesia (KAI), khususnya kereta rel listri (KRL) oleh Ignatius Jonan. Setahun sebelum ia menjabat, PT KAI merugi Rp150 M. Namun setahun setelahnya PT KAI mencatatkan pendapatan Rp4,2 triliun dengan keuntungan Rp83 miliar. Kisah sukses ini dapat dibaca pada artikel “Solusi Cerdas Ignasius Jonan Transformasi PT KAI dari Merugi Hingga Berpendapatan Rp 14 Triliun” yang dimuat di www.biropbj.kaltimprov.go.id.
Perolehan keuntungan yang fantastis tersebut, dilakukan tanpa merugikan yang lain, malah memberikan keuntungan untuk orang lain. Pengguna KRL diuntungkan dengan adanya transportasi yang nyaman, bebas pungli dengan harga yang murah. Selain itu, KRL memberikan keuntungan kepada masyarakat luas termasuk non pengguna KRL karena berkontribusi terhadap pengurangan kemacetan serta pengurangan emisi karbon.
Ignatius Jonan bukan Muslim dan bukan praktisi Eksyar. Namun transformasi KAI yang ia lakukan bersesuaian dengan Eksyar. Ini menegaskan tentang inklusifnya Eksyar. Prinsip-prinsip Eksyar adalah hal-hal baik yang sifatnya universal seperti: melarang merugikan orang lain, larangan spekulasi, anti suap, melaksanakan transaksi sesuai kesepakatan, dan lain-lain.
Dengan demikian, mengarusutamaan Eksyar bukanlah membawa Indonesia menjadi kearab-araban, namun mengajak untuk menerapkan nilai-nilai kebaikan universal. Tanpa diksi Arab atau syariah Islam, transformasi KAI yang dicontohkan dalam tulisan ini, adalah bentuk pelaksanaan salah satu prinsip Eksyar.
Diterapkannya Eksyar bukan karena Indonesia mayoritas penduduknya muslim, apalagi sebagai previllage bagi yang mayoritas. Pengarusutamaan Eksyar adalah untuk mewujudkan kebaikan untuk semua.
Kesimpulannya, bangsa Indonesia jangan melaksanakan ekonomi kapitalis yang ugal-ugalan. Jangan mengejar keuntungan tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan. Sebaliknya, mari kita tanamkan dan praktikkan paradigma yang benar. Paradigma bahwa mencari untung itu bisa juga sekalligus memberi untung kepada yang lain, minimal tidak merugikan orang lain. Cari untung itu, tidak perlu menjadikan orang lain buntung, bila tidak, maka akan dipentung!