
Oleh : Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tujuh puluh sembilan tahun sudah Kepolisian Republik Indonesia mengabdi pada negeri. Melintasi badai sejarah, dari zaman kemerdekaan hingga era digital hari ini. Usia yang sesungguhnya telah matang—seperti pohon tua yang seharusnya berbuah lebat, memberikan naungan sejuk dan rasa manis bagi rakyat Indonesia.
Hari ini saya menanggalkan segala titel akademik dan jabatan politik. Saya menulis sebagai seorang sahabat. Sahabat yang mencintai dengan tulus, yang menaruh harapan setinggi langit, namun juga tak gentar menegur dengan kasih sayang yang jujur.
Kekhawatiran saya sederhana: jangan sampai Polri terjebak menjadi "polisi tidur" di tengah jalan kehidupan berbangsa. Seperti gundukan aspal yang tak bersuara, tidak bergerak, tapi justru membuat pengendara melambat—bukan karena hormat, melainkan karena takut rusak. Hadir tanpa memberi kehadiran yang bermakna.
Saya yakin, Polri mampu jauh melampaui bayangan kelam itu. Terlebih dengan semangat transformasi yang diusung Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui visi PRESISI—Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan. Ini bukan sekadar jargon yang terdengar merdu di telinga, tetapi kompas moral yang seharusnya menuntun setiap langkah perubahan.
Prediktif menuntut Polri menjadi mata yang tajam, telinga yang peka, dan hati yang mampu membaca arah zaman sebelum badai datang. Bukan menunggu hingga masalah viral, tetapi sudah bekerja sejak benih-benih kegelisahan mulai tumbuh.
Responsibilitas menginginkan tanggung jawab yang utuh—bukan sekadar menutup kasus di atas kertas, tapi memastikan keadilan benar-benar menyentuh nurani masyarakat yang terluka.