Ahad 20 Jul 2025 15:51 WIB

Target Energi Terbarukan Second NDC Dinilai Kurang Ambisius

Bauran energi terbarukan Indonesia tertinggal jauh dibanding negara lain.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Target energi terbarukan second NDC dinilai kurang ambisius. (ilustrasi)
Foto: freepik
Target energi terbarukan second NDC dinilai kurang ambisius. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia mengumumkan penyusunan Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) telah memasuki tahap akhir, dengan target penurunan emisi sebesar 43 persen pada 2030 dan 60 persen pada 2035. Namun, target bauran energi terbarukan hanya berkisar antara 27 hingga 33 persen pada 2035, jauh di bawah beberapa negara lain yang telah menetapkan target di atas 50 persen.

Firdaus Cahyadi dari Climate Justice Literacy menilai target energi terbarukan tersebut kurang ambisius jika dibandingkan dengan potensi yang dimiliki Indonesia serta komitmen global. “Jika dilihat dari potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia, angka-angka itu kurang ambisius. Tapi persoalannya lebih dari sekadar angka-angka. Yang penting bagi masyarakat adalah bagaimana target itu dicapai,” ujar Firdaus, Ahad (20/7/2025).

Baca Juga

Ia menekankan pengembangan energi terbarukan kerap mengabaikan aspek keadilan sosial, yang pada akhirnya melemahkan kapasitas masyarakat lokal dalam beradaptasi terhadap krisis iklim. Firdaus mencontohkan proyek panas bumi di sejumlah daerah yang justru menggusur warga dari sumber-sumber penghidupan mereka.

“Contohnya pengembangan geothermal di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur, atau Gunung Gede di Jawa Barat,” ujarnya.

Ia menegaskan kebijakan mitigasi perubahan iklim seharusnya turut memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi dampak yang sudah nyata dirasakan. Oleh karena itu, Firdaus mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan transisi energi yang inklusif, terutama bagi komunitas rentan.

“Pertama, pemerintah harus melakukan assessment kerentanan di lokasi proyek transisi energi. Ini penting karena kelompok masyarakat rentan akan berbeda di tiap wilayah dan jenis proyek,” katanya.

Langkah selanjutnya adalah mendengarkan aspirasi warga yang terdampak dan menyampaikan informasi secara jujur mengenai manfaat, risiko, serta rencana mitigasi proyek energi terbarukan. “Bila tawaran pemerintah untuk memitigasi dampak proyek ditolak warga, pemerintah harus menerimanya, bukan malah memaksakan dengan tindakan kekerasan,” tegasnya.

Firdaus juga mengkritik penyusunan Second NDC yang dinilainya minim partisipasi publik. “Informasi terkait draf dan bagaimana publik bisa terlibat sangat minim. Ini preseden buruk,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa krisis iklim menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga pengambilan kebijakan seharusnya melibatkan publik secara bermakna, bukan hanya segelintir elite.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement