JAKARTA--Sanksi pidana terhadap anak umur delapan tahun dinilai tidak relevan dan merugikan. Hal ini disampaikan dua saksi ahli yang dihadirkan pemohon dalam sidang uji materi Undang Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/4).
Menurut Fentiny Nugroho, salah satu saksi ahli dari Universitas Indonesia, umur tersebut merupakan usia yang rawan karena merupakan puncak pengembangan. Dia menjelaskan, bahwa anak di usia enam tahun sampai pubertas merupakan saat mengembangkan kompetensi, kecerdasan, dan keterampilan. Sehingga, ketika UU yang menyatakan anak umur 8 tahun sudah bisa dipidana ini diterapkan, maka besar kemungkinan anak tersebut menjadi rendah diri dan merasa tidak punya kemampuan ketika menjadi terpidana.
Kerugian serupa juga terjadi pada anak-anak yang memasuki fase remaja. Di masa itulah mereka mengembangkan identitas dan mengasah kemampuan memandang diri sendiri.
Sementara itu menurut ahli hukum dari Universitas Indonesia, Surastini, standar umum anak-anak yang bisa dipidana di UU itu terlalu rendah. "Rata-rata di negara lain 12 tahun," paparnya di hadapan majelis hakim. Umur 8 tahun seharusnya masih mendapatkan perlindungan dari negara.
Surastini juga mengritik pasal 1 UU Peradilan Anak itu yang menyebutkan, bahwa anak-anak bisa dipidana dengan hukum lain yang hidup dan berlaku di masyarakat. Hukum tersebut dimaknai sebagai hukum adat. "Frasa tersebut justru memperluas peluang seorang anak dipidana," katanya.
Selain itu, Pasal 1 huruf b itu juga bertentangan dengan asas legalitas karena seseorang seharusnya hanya bisa dihukum dengan UU yang ada. Aturan itu pun, jelasnya, harus dalam ketentuan tertulis.