Jumat 16 Apr 2010 02:05 WIB

Michael Wolf, Hidayah Turun Usai Melihat Muslim Shalat di Pesawat

Rep: yusuf assidiq/ Red: irf
Michael Wolf
Michael Wolf

Stasiun televisi terkemuka CNN mewawancarai seseorang bernama Michael Wolfe tak lama setelah terjadi insiden saat pelaksanaan lontar jumrah, beberapa tahun lalu. Meski memiliki nama Barat, namun nyatanya Wolfe mampu memberikan penjelasan secara gamblang dan panjang lebar terkait ibadah haji, maupun peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.

Wolfe juga memaparkan dengan rinci segala hal menyangkut penyelenggaraan ibadah haji, mulai dari rukun haji, tata cara, hingga makna pada setiap ibadah yang dilakukan. Tapi, siapakah Michael Wolfe? Sejatinya, Wolfe adalah penulis buku berjudul One Thousand Roads to Mecca : Ten Centuries of Travelers Writing About the Muslim Pilgrimage . Selain itu, dia pernah membuat film dokumenter tentang ibadah haji untuk stasiun televisi yang sama.

Jadi, bila ditilik dari  curriculum vitae-nya ini, tak salah jika stasiun televisi tersebut memilih Wolfe sebagai nara sumbernya. Dia juga dikenal sebagai produser, penulis, serta cendekiawan. Selain menghasilkan karya buku dan film, dia kerap memberikan kuliah umum mengenai agama Islam di sejumlah universitas kondang di AS. 

Kiprah pria kelahiran 3 April 1945 itu dalam agama Islam merupakan wujud komitmennya sebagai seorang Muslim, setelah ia mengikrarkan dirinya sebagai pemeluk Islam (mualaf). Michael Wolfe menjadi Muslim pada tahun 80-an, dan sejak itu dia berkhidmat bagi kemajuan agama Islam dan umat Muslim di seluruh dunia.

Bermula pada akhir tahun 70, Wolfe yang kala itu sudah menjadi seorang penulis, ingin mencari pencerahan dalam hidupnya. Dia berupaya melembutkan perasaan sinisnya dalam melihat kondisi lingkungan di sekelilingnya.

Terlahir dalam keluarga yang mempunyai dua pegangan agama, ayahnya adalah keturunan Yahudi, sementara sang ibunda penganut Kristen. Situasi tersebut menyebabkan Wolfe agak tertekan apabila harus membicarakan isu agama dan kebebasan.

Hingga kemudian dia menemukan satu momen berkesan. Suatu ketika dia menempuh perjalanan menuju Brussels, Belgia. Begitu selesai makan malam, Wolfe pergi ke toilet. Pada waktu bersamaan, sejumlah penumpang pesawat yang beragama Islam melaksanakan shalat di bangku masing-masing karena sudah masuk waktu shalat Isya.

Wolfe yang keluar dari toilet, terkesima melihat peristiwa itu. Dirinya terus mencermati ibadah yang dilakukan umat Muslim. Dia lantas menyadari, di manapun dan kapan pun, orang-orang Islam yang beriman tidak akan pernah melalaikan kewajiban ibadahnya kepada Tuhan.

"Saya hanya berdiri dan mencermati, Saya melihat sebagian mereka memegang sebuah buku sebesar telapak tangan yang kemudian meletakkannya di dada sambil memuji Tuhannya," ungkap Wolfe. Kejadian ini membawa Wolfe ingin lebih mengenal Islam. Dia ingin menemukan agama yang tidak hanya sebatas ritual atau pemujaan, serta tidak ada keraguan di dalamnya. Wolfe lantas memutuskan mengembara ke Afrika Utara, dan menetap di kawasan tersebut selama lebih kurang tiga tahun.

Di sana, dia berinteraksi dengan lingkungan yang sama sekali berbeda. Wolfe bertemu dengan banyak etnis, suku dan agama, termasuk dengan kalangan keturunan Arab dan Afrika yang beragama Islam. Itulah untuk kali pertama perkenalannya yang benar-benar intens dengan Islam. Dan segera saja, dia merasakan suasana yang lebih akrab, santun dan tenggang rasa. Umat Muslim menerimanya dengan tangan terbuka. 

Dari pengamatannya, seperti dikutip dari laman  Islamfortoday , umat Islam tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan etnis ataupun warna kulit. Siapa pun dipandang sama serta setara, baik miskin, kaya, tua, muda, dan sebagainya. Islam hanya membedakan orang per orang berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Hal ini jelas sangat kontras dengan kehidupannya dulu. Misalnya, dalam pergaulan antarsesama, justru kerap timbul diskriminasi karena perbedaan warna kulit, etnis atau keyakinan. "Ini terjadi setiap hari di masyarakat padahal mereka mengaku punya keyakinan agama. Sungguh memprihatinkan," paparnya.

Dia pun menemukan kedamaian dalam Islam. Dalam hati, dia membenarkan pernyataan tokoh Muslim AS, Malcolm X, yang berkata bahwa orang Amerika perlu memahami Islam karena Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan saling menghormati dan menghargai antarmanusia secara tulus. Penulis artikel berjudul  Islam: The Next American Religion? ini pun berpendapat, Islam merupakan agama yang sesuai bagi kondisi Amerika. Ada beberapa alasan, antara lain, Islam memiliki semangat demokrasi, egaliter, serta toleran terhadap keyakinan lain.

Wolfe tercatat dua kali mengadakan perjalanan ke Maroko, yakni pada tahun 1981 dan 1985. Pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa Afrika Utara merupakan wilayah yang bisa menghadirkan keseimbangan baru dalam hidupnya. Hatinya tertambat di Afrika Utara. Dan tak hanya tertambat pada Afrika Utara, hatinya mulai terkesima dan takjub dengan Islam. Semakin banyak mendalami Islam, semakin kuat keyakinan dalam dirinya. Michael Wolfe akhirnya memutuskan menjadi Muslim.

Keputusannya ini disayangkan oleh rekan-rekannya yang terdiri dari kalangan akademisi Barat. Sebagian mereka masih mengaitkan Islam dengan masyarakat yang terbelakang dan agama kekerasan. Mereka pun meminta Wolfe untuk mengurungkan keputusan tersebut.

Akan tetapi, Wolfe yang kemudian berganti nama menjadi Michael Abdul Majeed Wolfe, tidak goyah. Wolfe menilai rekan-rekannya keliru menilai Islam. Islam, dari pengamatannya, selama ini banyak disalahartikan dan diputarbalikkan dari kenyataan yang sebenarnya. "Pendeknya, Islam adalah agama damai," tegas Wolfe.

Dirinya kian mantap memeluk Islam, dengan segala konsekuensinya, karena dia melihat kebaikan dan keutamaan dalam agama ini. Menurutnya, agama Islam justru menekankan pada persaudaraan dan cinta kasih, baik kepada sesama manusia juga alam semesta.

Lebih jauh, tokoh ini melihat, dalam beberapa tahun ke depan, Islam akan menjadi agama dengan perkembangan paling pesat di Eropa dan Amerika. Dari tahun ke tahun, jumlah pemeluk Islam mengalami pertumbuhan, termasuk mereka yang menjadi mualaf, dan antara lain dipicu oleh semakin banyaknya orang yang memahami esensi sejati ajaran Islam tadi.

Wolfe semakin antusias mengikuti ibadah dan kegiatan keislaman. Dia membaca banyak buku tentang Islam dan melibatkan diri dengan aktivitas Masjid di dekat kediamannya di California. "Setiap tahun umat Islam berpuasa sebulan penuh dan diikuti dengan pelaksanaan haji kira-kira selama 40 hari. Itulah kemuliaan agama Islam," katanya.

Dijelaskan, Islam berasaskan pada lima rukun utama. Salah satunya adalah haji. Wolfe percaya, bila telah mampu secara materi dan fisik, seseorang wajib hukumnya melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, sekurang-kurang sekali seumur hidup.

Usai menunaikan ibadah haji sekitar awal tahun 1990, Wolfe memberikan sumbangan terbaiknya berupa buku berjudul  Mecca: The Hadj yang diterbitkan pada 1993, dan  One Thousand Roads to Mecca (1997). "Sekarang saya berharap dapat mendalami keyakinan agama yang sudah tersemai sejak sekian lama," ujar Wolfe.

Melanjutkan kegiatan menulisnya, lulusan sarjana muda Seni Klasik di Universitas Wesleyan ini mendirikan penerbitan Tombouctou Books di Bolinas, California. Salah satu prestasinya yakni saat mengedit koleksi esai para penulis Muslim Amerika dalam buku bertajuk  Taking Back Islam: American Muslims Reclaim Their Faith . Buku ini memenangi Anugerah Wilbur pada 2003 dalam kategori buku agama terbaik.

Wolfe juga pernah menjadi pembawa acara sebuah program film pendek  tentang perjalanan haji ke Makkah untuk acara Ted Koppel's Nightline di stasiun televise ABC. Program tersebut juga berhasil meraih penghargaan media dari Muslim Public Affair Council.

Berdakwah Lewat Media Film

Kecintaan Michael Wolfe tak perlu diragukan lagi. Hari-harinya senantiasa diisi dengan berbagai kegiatan keislaman. Di sela-sela kesibukannya menulis, yang ia jadikan sebagai media dakwah, Wolfe melebarkan syair Islam pada masyarakat luas, terutama non-Muslim melalui media lain. Pada Februari 2003, dia bekerjasama dengan wartawan televisi CNN, Zain Verjee, untuk membuat program film dokumenter tentang ibadah haji.

Pada tahun 1999, bersama dengan rekan sesama sineas, Alex Kronemer, Wolfe mendirikan sebuah yayasan pendidikan media yang diberi nama Unity Productions Foundation (UPF). Kolaborasi Wolfe dan Alex dalam UPF kemudian menghasilkan karya film dokumenter televisi mengenai kisah hidup Nabi Muhammad SAW berjudul  Muhammad: Legacy of a Prophet .

Terkait film tersebut, Wolfe mengungkapkan mereka ingin menyasar dua audiens sekaligus. Pertama, kalangan terpelajar serta masyarakat awam Barat. Sebagian besar mereka belum banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya, sehingga kerap memberikan persepsi negatif. Sedangkan kedua, masyarakat Muslim sendiri agar mereka lebih mengenal sosok Nabi SAW yang mulia.

Film ini mengambil lokasi di tiga negara, Arab Saudi, Yordania dan Amerika Serikat. Sejumlah tokoh agama, sejarawan dan cendekiawan semisal Syekh Hamza Yusuf, Karen Armstrong, Cherif Basiouni, Sayyid Hossen Nasr, serta banyak lagi, yang tercatat menjadi narasumbernya. Untuk menambah keakuratan, bersama dengan Kronemer, Wolfe mempelajari  sirah (sejarah) serta buku-buku tentang hadis Rasulullah SAW.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement