JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan bisa meminta Presiden untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait materi yang diatur dalam pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27 tahun 2009, yang sesuai dengan putusan MK pada perkara ini kedepannya. Perppu tersebut harus mengandung makna pelaksanaan sidang paripurna untuk hak menyatakan pendapat (HMP) adalah dua pertiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh dua pertiga dari seluruh anggota DPR.
Hal tersebut menjadi salah satu poin yang diminta oleh tiga inisiator hak angket Century dan 16 aktivis angkatan 77/78. Pihak pemohon tersebut mengajukan permohonan uji materi ketentuan kuorum hak menyatakan pendapat dalam Pasal 184 Ayat (4) UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD kepada MK. Inisiator Century tersebut adalah Lily Chadijah Wahid (FPKB), Akbar Faisal (Fraksi Hanura), dan Bambang Soesatyo (Fraksi Partai Golkar).
Seperti dijelaskan oleh kuasa hukum pemohon, Maqdir Ismail, apabila MK menyatakan pasal 184 (4) UU nomor 27 tahun 2009 bertentangan dengan pasal 7B UUD 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan terjadi kekosongan hukum (wetsvacuum) mengenai syarat-syarat pelaksanaan Sidang Paripurna DPR. ''Untuk itulah pemohon memohon kepada MK untuk mempertimbangkan problem konstitusi itu dengan meminta Presiden mengeluarkan Perppu,'' katanya dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Rabu (28/4).
Menanggapi hal tersebut, Majelis Hakim MK menegaskan bahwa MK tak memiliki kewenangan untuk menerbitkan Perppu. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang dari Majelis Hakim, M Akil Mochtar. ''Para pemohon sendiri pun sebenarnya menyadari,'' katanya.
Ketua Panel Hakim, Hamdan Zoelva, malah mempertanyakan permintaan itu. Ia meragukan adanya Perppu akan menjadi keputusan efektif bagi penyelesaian kasus ini. ''Kalau Presiden tak mau, solusinya bagaimana. Kalau Perppu tak keluar-keluar lagi mau bagaimana,'' tanyanya.