NEW YORK--Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan keputusan Indonesia untuk memulai proses ratifikasi Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Ledak Nuklir (CTBT atau Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty) tahun 1996 merupakan sumbangan nyata Indonesia di bidang perlucutan senjata.
Dalam berbagai kesempatan, Marty menyebut KTT Pengamanan Nuklir di Washington, konferensi tingkat menteri di Tehran serta tercapainya kesepakatan antara Amerika Serikat dan Rusia untuk mengurangi senjata nuklir kedua negara melalui sebuah traktat (START) baru-baru ini, sebagai beberapa kemajuan yang perlu dimanfaatkan sebagai momentum.
Menlu mengatakan Indonesia menyadari bahwa jalan menuju ratifikasi CTBT akan diwarnai dengan berbagai pembahasan sengit mengingat berbagai pemangku kepentingan harus dilibatkan, partisipasi harus didorong dan rasa kepemilikan harus dibangun.
Namun Indonesia melihat proses itu sebagai praktik demokrasi sesungguhnya.
"Dalam konteks ini, di sini di PBB, marilah kita sesama negara-negara anggota PBB untuk saling memberikan dorongan dan insentif positif satu sama lain, untuk melakukan hal yang tepat, yaitu meratifikasi CTBT," kata Marty.
Ajakan itu disambut dengan tepuk tangan hadirin dan juga komentar dari Tibor Toth yang di depan forum spontan memuji pidato Marty, "Strong statement".
Rangkaian persidangan NPT Review Conference itu sendiri akan berlangsung hingga 28 Mei , diikuti oleh para wakil pemerintah dari setidaknya 100 negara.
Persidangan telah dibuka pada Senin (3/4) oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon sementara persidangan hari pertama tersebut sempat diwarnai dengan pernyataan keras dan saling serang --menyangkut kebijakan nuklir-- antara Iran dan Amerika Serikat yang disampaikan melalui pidato Presiden Mahmoud Ahmadinejad dan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton.