Siapa yang tak kenal saus? Penyuka bakso, mi ayam, serta makanan cepat saji pasti sangat akrab dengan penyedap tambahan yang satu ini. Bagi sebagian kalangan, saus merupakan penyedap tambahan yang wajib tersedia.
Saus biasa ditemui di restoran, warung makan atau lapak jajanan pinggir jalan. Ada beraneka ragam jenis saus yang beredar di pasaran, seperti saus sambal, saus tomat maupun kecap manis. Jenis penyedap ini memang telah digunakan secara luas di dunia kuliner, karena bisa menghadirkan cita rasa yang khas.
Bukan sekadar tak afdol, apabila saus tak menemani sejumlah hidangan atau kudapan. Saus pun diyakini dapat memberikan arti lebih secara visual pada makanan. Warnanya yang merah mampu menggugah selera. Apalagi, bila rasanya lezat, maka kudapan atau hidangan pun menjadi lebih nikmat disantap.
Sejak abad pertengahan, saus mulai dimasukkan dalam komposisi penting bumbu masakan oleh masyarakat Prancis. Kata saus sendiri berasal dari bahasa Prancis 'sauce' yang diambil dari bahasa Latin 'salsus' (digarami). Empat jenis saus sangat populer hingga abad ke-19, yakni saus Bechamel (terbuat dari tepung terigu dan susu), saus Allemande (dari kaldu dengan kuning telur dan sari buah), saus Valoute (berbahan kaldu ayam, ikan dan daging sapi), serta saus Espagnole (dari kaldu sapi).
Sementara saus tomat baru ditemukan di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-19. Terakhir adalah penemuan saus Mayonaisse di awal abad ke-20. Perkembangan zaman menghadirkan inovasi baru pada produk saus. Seiring ditemukannya beragam varietas bahan baku, kini masyarakat mengenal saus sambal serta kecap manis, dua jenis saus yang paling digemari. Keduanya bisa dengan mudah ditemui di warung-warung makan pinggir jalan.
Hanya saja, bila dicermati, dalam kemasan botol saus maupun kecap yang dijual di warung-warung, sangat jarang ditemukan produk yang telah mencantumkan logo sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Adanya sertifikat halal merupakan jaminan keamanan sebuah produk bagi konsumen umat Muslim.
Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. "Kalau bicara street food (jajanan jalanan), salah satu kekhawatiran terbesar kita adalah tidak jelasnya kualitas produk itu dari aspek kehalalan," paparnya, kepada Republika.
Masalah terbesar yakni masih rendahnya kesadaran produsen untuk mendaftarkan produknya agar memperoleh sertifikasi halal. Padahal, menurut Lukmanul Hakim, pihaknya sudah kerap kali melakukan sosialisasi bahwa untuk keperluan sertifikasi halal, tidak perlu mengeluarkan biaya mahal.
Hal itu jelas sangat berdampak bagi konsumen Muslim. Tanpa adanya pengujian terkait aspek halal, produk itu menjadi sangat rentan terhadap kandungan bahan-bahan dari sumber haram. Misalnya saja, adanya bahan baku terbuat dari darah, berbagai bahan pengawet serta pewarna, dan masih banyak lagi.
"Semua bahan baku itu terbilang kritis dari aspek kehalalan. Ini harus menjadi perhatian kita semua," tutur Lukmanul. Ia mengatakan, satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan itu adalah peran serta masyarakat. Dalam kaitan ini, masyarakat dan produsen agar mengajukan permohonan sertifikasi halal kepada lembaga yang berwenang.
Pemerintah maupun LPPOM sendiri, tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada produsen. "Aturan perundang-undangannya memang tidak mengharuskan produsen untuk mengantongi sertifikat halal, tapi baru sebatas imbauan," ujar dia.
Bila tidak ada desakan dari masyarakat, bahkan sebaliknya masyarakat membiarkan, maka produsen akan terus membuat produk yang tidak terjamin unsur halalnya. Terlebih mengingat ini merupakan bisnis dengan volume sangat besar.
"Kalau kita lihat, perusahaan yang memproduksi street food ini rata-rata punya omzet cukup besar. Mereka tentu punya kemampuan finansial untuk mengajukan sertifikat halal," ungkap Lukmanul. Jadi, tinggal masyarakat yang harus berperan aktif untuk melindungi diri sendiri dari bahan-bahan pangan non-halal.