REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menyatakan masyarakat belum siap untuk melaksanakan pemilihan elektronik (e-voting) pada 2014.
"Masyarakat belum siap, mereka lebih afdol dengan mencoblos dan mencontreng. Mereka, khususnya yang di pelosok, juga belum biasa dengan teknologi seperti komputer," kata Mendagri di sela Dialog Nasional Menuju Pemanfaatan e-Voting untuk Pemilu di Indonesia Tahun 2014 yang diselenggarakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, penerapan e-voting masih membutuhkan standarisasi infrastruktur, sarana teknologi, anggaran, SDM, dan lain-lain serta memasukkannya dalam revisi UU Penyelenggara Pemilu. "Penerapan e-voting juga membutuhkan kesiapan dalam penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan KTP elektronik (e-KTP)," katanya.
Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jimly Asshiddiqie mengatakan, secara legalitas e-voting sah dan bisa diterapkan di Indonesia. Sedangkan mengenai akibat hukum dan antisipasi sengketa pidana yang mungkin, masih dibutuhkan UU lagi, dan perlu ada peraturan yang lebih rinci mengenai standar, operasi, dan prosedur (SOP)-nya, katanya.
"Tidak usah gamang, kalau kemampuan kita ada, mengapa tidak. Asalkan harus dicatat, jangan ada penyeragaman karena tidak semua daerah siap, termasuk UU jangan membuat penyeragaman," katanya.
Menurut dia, penerapan e-voting harus bertahap, misalnya diterapkan di kota lebih dulu pada pemilihan umum pemerintah daerah walikota, lalu meningkat menerapkannya di tingkat kabupaten yang masih bersifat desa, berikutnya provinsi. "Kemudian diterapkan pada pemilihan presiden di tingkat nasional. Pada 2024 barulah diterapkan secara menyeluruh untuk pemilihan umum legislatif," katanya.
Sedangkan anggota Badan Pengawas Pemilu Bambang Eka Cahya mengatakan, problem besar dalam pemilu adalah pada e-counting (penghitungan suara), bukan pada e-voting (pemungutan suara).