REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menuding anggaran yang minim menjadi alasan maraknya peredaran kosmetik palsu. Kepala BPOM, Kustantinah, mengatakan untuk pengawasan obat dan makanan, termasuk kosmetik, di seluruh Indonesia setidaknya dibutuhkan anggaran Rp 2 triliun.
Anggaran tersebut dialokasikan untuk 31 Balai POM dan satu badan di tingkat pusat. ''Tapi kita cuma diberi Rp 627 miliar. Memang tidak cukup tetapi kita ada prioritas program dalam pengawasan,'' keluhnya usai rapat di Komisi IX DPR, Jakarta, Rabu (19/5).
Kustantinah menjelaskan, BPOM melakukan pengawasan dari hulu hingga hilir, mulai produksi sampai dijual sebagai produk. Menurutnya, kosmetik menjadi komoditas empuk untuk dipalsukan karena cara pembuatan yang terbilang mudah dan tergolong barang yang mudah dijual karena dikonsumsi secara luas. ''Paling banyak yang memalsukan kosmetik justru buatan lokal, di Pulau Jawa. Pemalsu mencari konsumen yang banyak dan distribusi yang mudah,'' ucapnya.
Pada 2009, BPOM telah memerintahkan untuk menarik dari peredaran produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dan dilarang yaitu merkuri, hidrokinon, asam retinoat, zat warna merah K3 (CI 15585), merah K10 (Rhodamin B) dan Jingga K1 (CI 12075). Terdapat 70 macam kosmetik yang ditarik, terdiri dari 18 merek kosmetika rias wajah dan mata, 7 merek kosmetik pewarna rambut, 44 merek kosmetik perawatan kulit, dan satu merek kosmetik mandi. Di antara produk berbahaya yang ditarik itu termasuk produk yang dipalsukan karena tidak terdaftar dalam varian merknya.