REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sebagai aktivis, sosok Santi Soekamto merupakan pribadi yang cerdas, seimbang antara pemikiran dan perbuatan, memiliki rencana-rencana dan segudang cita-cita. Namun, satu hal yang teristimewa dari sosok Santi adalah kepribadiannya yang cenderung kalem dan enggan bermain wacana, sebuah bentuk keistimewaan yang jauh dari karakter aktivis.
"Dia seorang yang low profile, dia tidak ingin bereksistensi lewat wacana melainkan melakukan tindakan secara langsung," tutur sahabat dekat Santi, Ika Rais kepada Republika Online, Rabu Pagi. Satu hal lagi yang menjadikan sosok Santi menjadi seorang yang disegani yakni prinsipnya yang teguh dan selalu terdepan untuk urusan perjuangan.
Baginya, perjuangan harus dilakukan dengan tingkatan yang harus dilalui. Setiap tingkatan itu memiliki nilai keseriusan orang saat melakukan perjuangan. "Era perjuangan melalui tulisan sudah lewat. Sudah saatnya untuk melakukan tindakan," ujar Ika menirukan perkataan sahabatnya itu suatu ketika.
Ika bercerita, sahabatnya itu pernah mengatakan, "Tidak semua orang memiliki akses untuk menulis tapi setiap orang memiliki masa yang harus dilewati satu per satu. Perjuangan tidak berhenti pada tulisan saja tetapi juga meningkat lebih dari sebelumnya."
Ia menilai berkat kekuatan karakter yang terbungkus dalam semangat membara membuat orang-orang yang di sampingnya seperti mendapatkan energi dan semagat baru. "Saya termasuk orang yang mengakui betapa hebatnya sosok Santi ketika membangkitkan semangat seseorang dan membuat perjuangan seolah tidak kenal kata loyo," ungkapnya.
Keteguhan hati dan pikiran kemudian membawa ibu rumah tangga ini melakukan tugasnya menuju Gaza bersama pejuang kemanusian dari 50 negara. Kala itu, Santi hanya memiliki satu bekal menuju Gaza, yaitu keinginan untuk membuka mata dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.
"Saya ingin sekali membuka mata dunia terhadap Palestina. Biar mereka (dunia) tahu prilaku Israel yang seenaknya memblokade tanpa mempikirkan aspek kemanusiaan," ujar Ika menirukan perkataan sahabatnya. Dia pun sadar betul, risiko apa yang berada di hadapannya. Israel yang
kejam segera menyambutnya. "Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran," tulis Santi seperti yang termuat dalam blog sahabatnya, Muhaimin Iqbal.
Santi juga memahami, kekuatan dan keyakinan dirilah yang bakal berperan ketika menghadapi risiko saat mendekat ke jalur Gaza. "Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta’ala," tulisnya.
Ia pun menggambarkan pemikirannya itu dalam sebuah tulisan yang menyatakan bahwa jika dibiarkan, riya’ akan menyelusup, na’udzubillahi min dzaalik, dan semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi sumber amarah Allah Ta’ala.
Ika pun menuturkan perkataan sahabatnya itu, "Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagi-Nya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina."