REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Hari Jumat setahun lalu, Presiden Barack Obama berdiri di Kairo dan menjanjikan sebuah "awal baru" hubungan AS dengan dunia Muslim. Tak lama setelah itu, di ritel-ritel Mesir dijual T-shirt menggambarkan Obama dalam tanda-tanda kebesaran Raja Tut. Mereka menulis lengkap nama Obama dengan "Hussein" sebagai nama tengahnya.
Sekarang, mengutip tajuk McClatchy -- media terbesar ketiga di AS -- banyak Muslim di Mesir dan seluruh Timur Tengah mengatakan mereka kecewa bahwa janji pidato telah berakhir begitu saja ke dalam kebijakan AS yang "kambali seperti sebelumnya"; kematian sipil di Afghanistan yang dibiarkan, Irak yang tidak kunjung stabil, tidak ada tekanan untuk reformasi pada otokrat Washington, tidak ada resolusi untuk tahanan Guantanamo, dan terakhir, tidak terlihat upaya apapun untuk konflik Israel-Palestina.
Di Kairo, Obama berjanji "untuk melawan stereotip negatif tentang Islam di mana mereka muncul." Namun banyak umat Islam di luar negeri merasa bahwa diskriminasi agama tetap ada. Bahkan mahkota dari Miss USA yang adalah Muslim dan keturunan Arab - pada awalnya gembira oleh penggemar di Timur Tengah - berbalik asam ketika ratu kecantikan dituduh memiliki hubungan dengan kelompok militan Hizbullah.
Serangan mematikan Israel di perairan internasional pada armada bantuan Gaza - yang direspons oleh hampir seluruh negara di dunia termasuk Eropa - disemen oleh dukungan tanpa syarat AS bagi Israel. Beberapa komentator Arab dan blogger kini ramai membincangkan: Obama tidak lagi layak untuk menerima Nobel Perdamaian.
"Pidatonya di Universitas Kairo sangat indah dan mengangkat harapan bahwa Amerika berada di jalur nyata untuk perubahan kebijakan," kata Hassan Nafaa, seorang profesor ilmu politik di Universitas Kairo, dimana Obama berbicara. "Tapi pada tataran praktik, Obama menunjukkan bahwa ia lebih lemah dari yang tampak dalam sambutannya."
Survei Gallup yang dilakukan antara Februari dan April tahun ini menunjukkan penurunan dramatis dalam peringkat persepsi positif atas pemerintah AS. Di Mesir, di mana ia menyampaikan pidato, jajak pendapat menunjukkan bahwa popularitas Obama turun sebesar 18 poin. Sementara di beberapa negara Timur Tengah mengatakan tidak adil untuk menilai presiden begitu awal pada isu-isu yang telah bertahan selama puluhan tahun, yang lain mengatakan mereka pasti berharap lebih di tahun mendatang.
"Ada banyak ilusi tentang Obama karena ia memiliki akar Afrika dan Muslim," kata Aya Mahmoud, 22, seorang mahasiswa di Universitas Kairo. "Ternyata pidato itu hanya di bibir saja."
Namun pihak Gedung Putih membantah Obama lemah soal janjinya di Kairo. Deputi Penasehat Keamanan Nasional, Ben Rhodes, menyatakan pihaknya sangat menyadari tingkat frustrasi di kawasan itu. Namun komitmen Obama tetap.
Konsulat dan kedutaan besar AS di berbagai negara menyelenggarakan beberapa pertemuan selama berbulan-bulan setelah pidato Kairo dan masukan diteruskan melalui Departemen Luar Negeri. Kantor Keterlibatan Publik Gedung Putih juga meminta masukan dari organisasi Muslim AS. Dmengatakan bahwa kira-kira sekali sebulan, Obama juga meminta stafnya secara khusus untuk meng-update kemajuan tentang apa yang dijanjikannya di Kairo.
"Dia berkata," Aku ingin memastikan bahwa aku memenuhi janji saya dibuat dalam pidato ini" dan dia berulang kali menyatakan itu," kata Rhodes.
Namun, kini janji itu kembali dipertanyakan, terutama terkait sikapnya atas tragedi Mavi Marmara. May Meneisy, pengamat politik di Universitas Kairo yang hadir saat Obama berpidato menilai, "Kharismanya yang kuat gagal diterjemahkan dalam level politik yang sepadan," ujarnya.