REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM--Krisis keuangan, bangkrutnya bank-bank, penghematan yang dijalani negara-negara pada 2009, tidak mengubah kebiasaan menghamburkan dana besar untuk perlengkapan senjata militer. Laporan tahunan lembaga penelitian perdamaian, SIPRI menyebutkan, adanya kenaikan hampir enam persen dibandingkan jumlah pengeluaran 2008 untuk senjata. Selama 2009, belanja senjata global nilainya mencapai 1,5 triliun dolar AS (Rp 14 ribu triliun)
Anggota tim peneliti Sam Perlo-Freeman menjelaskan, "Krisis finansial tidak berdampak pada pengeluaran untuk militer. Ini terdengar paradoks, tapi sejalan dengan strategi ekonomi sejumlah pemerintahan, yang meningkatkan pengeluarannya agar bisa menghambat resesi. Pengeluaran militer bukan bagian besar dari paket stilumasi ekonomi, tapi juga tidak ada pengurangan dana."
Amerika berada di peringkat pertama, dengan kenaikan anggaran untuk militer sekitar 47 miliar dolar. Namun pada dasarnya, kecuali di beberapa negara Eropa Timur, anggaran belanja militer dinaikkan di hampir semua negara. Untuk membuat analisis jangka panjang, SIPRI mengumpulkan data dari pemerintahan, meneliti skema rancangan anggaran belanja dan menerima masukan dari sejumlah pakar independen mengenai anggaran militer yang tak selalu transparan.
SIPRI melihat usaha keras presiden Amerika serikat untuk mengurangi 8000 senjata nuklir melalui Kesepakatan Non Proliferasi Senjata Nuklir. Namun lembaga itu menilai penyelesaian sengketa nuklir Iran dan Korea Utara sulit dijalankan. Selain itu, konflik internasional paling berbahaya saat ini terjadi di Afghanistan belum tampak akan berakhir. Demikian disampaikan analis SIPRI, Tim Foxley.
Kendaraan berlapis baja, pesawat tanpa awak, teknologi Cyberwar: perusahaan-perusahaan senjata kembali meraup untung besar di tahun 2009. Setelah AS dan Rusia, ekspor senjata Jerman menduduki peringkat ke tiga di dunia. Pembelinya termasuk Turki, Afrika Selatan, dan juga Yunani yang tengah mengalami krisis keuangan.