REPUBLIKA.CO.ID, GAZA--Tahun lalu, saya jumpa Fatimah Atlas (15) di Baytlahia, Jalur Gaza, saat Israel sedang ganas menghanguskan kehidupan Gaza. Ia tengah memangku bocah laki-laki, sembari duduk di atas puing bekas rumahnya yang lebur oleh bom Israel. Fatimah tampak keibuan, meski umurnya masih amat hijau. Mata gadis itu tajam, wajahnya semburat penuh semangat.
“Allah bersama kami,” jawabnya. Kedua orang tuanya syahid oleh tembakan membabibuta tentara Israel. Gadis belia itu, kini menggantikan peran orang tuanya untuk menjaga adik-adiknya. Dia tak tampak lemah. Acapkali ditanya hidupnya ke depan, spontan ia jawab, “Allah bersama kami.”
Di Bayt Hanun, bagian utara Gaza yang dekat laut, saya berjumpa Ahmad Khodari (14). Ia tinggal di rumah yang temboknya berlubang oleh hujan peluru Israel. Sang ayah syahid, saat memberikan perlawanan pada tentara Israel. Dari lantai dua rumahnya, ia lihat ayahnya diseret dan ditembak tepat di kepala.
“Saya tidak dendam, karena Islam melarang dendam, tapi kelak saya akan mempertahankan agama dan tanah air kami, dengan atau tanpa Hamas,” terang Ahmad, seakan mematahkan tuduhan Israel dan Amerika, bahwa Hamas adalah teroris. Kenyataannya, tanpa Hamas pun, generasi di Gaza kelak akan tetap melawan penjajahan Israel.
“Allah bersama kami,” tutur seorang ibu dari keluarga besar Sabri Junaid yang ditemui saat berteduh di puing bekas rumahnya, di Jabalia Albalad. Perempuan dengan lima anak itu, ditinggal syahid suaminya. Rumah keluarga besarnya juga luluh lantak, tak bisa lagi dihuni. Pertanian zaitun di ladangnya juga musnah, tinggal debu-debu sisa buldoser tank tempur Israel. Tapi, pancaran wajahnya amat kuat, tak menunjukkan kelemahan.
Ia merekam dengan detil, saat agresi terjadi. Selama 12 hari, keluarga Sabri Junaid terkepung di dalam rumah. Mereka tak dapat keluar untuk sekadar cari makan, karena gempuran dari darat, laut, dan udara yang bertubi-tubi. Meski tak ada yang tersisa, mereka selalu bersandar “Allah bersama kami.”
Di Jabalia ujung, sekitar tiga kilometer dari perbatasan Erez, Israel, saya lihat bangkai sapi dan domba bergelimpangan. Juga puing bangunan pabrik susu yang ambruk ke tanah. Jabalia, salah satu pusat produksi susu terbesar di Palestina. Di antara bangkai itu, duduk lelaki paruh baya, yang memanggang selembar roti. Dia, Muchtar Abdul Karim, pemilik ternak yang dibantai pesawat Israel.
“Allah bersama kami. Dia akan ganti lebih banyak dari yang telah dibinasakan Yahud (Israel)”, terang Muchtar menggelegak. Dia mengungkapkan, telah berkali-kali kehidupannya dirampas Israel. Tapi, berkali-kali juga, Allah mengganti lebih dari yang dihancurkan Israel.
Menurutnya, semua amat mudah datang dan pergi. Sebagaimana maut yang tak perlu ditakuti kapan datangnya. “Hidup ini hanya giliran. Bisa Anda besok yang meninggal atau saya yang mati. Bisa hari ini Allah mengambil harta benda saya, bisa juga besok giliran Anda. Semua ini milik Allah, Dia yang memberi dan akan mengambilnya. Jadi, tak ada yang harus diratapi dari kehilangan ini,” kata Muchtar membuat hati bergetar.
Kata dia, Israel bisa saja memblokade seluruh Gaza, tapi jika Allah menghendaki datang bala bantuan, apapapun caranya, Israel tak akan mampu menahan. Semua, “Karena Allah bersama kami,” demikian warga Gaza meyakini.