REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–-Sekitar 500 orang dari serikat pekerja (SP) yang tergabung dalam Trans Union Federation Indonesia (TRUF) berdemonstrasi di depan Kantor Meneg BUMN, Kamis (17/6) di Jakarta. Mereka menuntut agar pemerintah segera mencopot Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Jose Lino.
Koordinator aksi, Tedy Herdian, mengatakan pelabuhan terbesar dan strategis, Tanjung Priok, dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia II dengan melanggar prinsip-prinsip good and clean corporate governance. ”Selama satu tahun memimpin, Richard sangat ceroboh dan meresahkan lingkungan di pelabuhan,” kata salah satu pimpinan di TRUF tersebut.
TRUF terdiri dari lima serikat pekerja, yakni SP Jakarta International Container Terminal, SP Terminal Peti Kemas Koja, SP Terminal Petikemas Surabaya, SP Rumah Sakit Pelabuhan, SP Angkutan Pelabuhan Indonesia. Di antara kecerobohan-kecerobohan Richard, tuturnya, adalah kasus Makam Mbah Priok yang telah menyebabkan timbulnya korban jiwa, konflik sosial, dan kerugian miliaran rupiah.
Kedua, kegagalan mengelola mogok di terminal peti kemas Koja. Menurut Tedy, manajemen PT Pelabuhan II di bawah pimpinan RJ Lino tidak mampu mengatasi aksi mogok yang dilakukan Serikat Pekerja TPK Koja sehingga menimbulkan kerugian Rp 5 miliar.
Ketiga, visi Richard dianggap tidak terarah dan berubah-ubah. Tedy menceritakan, pada Juli 2009 lalu, Richard dengan menggebu-gebu dan meyakinkan mendeklarasikan di media dan di berbagai pertemuan akan dibangunnya pelabuhan kontainer terbesar di Ancol Timur, bahkan mengajukan ke Presiden RI master plan baru Tanjung Priok. Tapi pada April 2010, kata Teddy, visi berganti lagi dan dengan sangat memukau RJ Lino mengajukan rencana membangun megapelabuhan di Karawang dengan argumentasi Pelabuhan Priok akan penuh pada tahun 2014.
”Bagaimana mungkin sebuah visi bisa berganti-ganti hanya dalam waktu singkat? Bagaimana proses studinya?” dia mempertanyakan.
Pimpinan TRUF lainnya, Satyo Utomo juga membenarkan beberapa alasan tuntutan pencopotan pimpinan perusahaan tersebut. Bahkan, dia mengungkapkan kasus-kasus lain, seperti kasus Tender ICT. Menurutnya, dalam kasus tersebut patut diduga sudah terjadi mark-up nilai kontrak untuk pengembangan sistem IT yang semula senilai Rp. 26 milyar menjadi Rp. 105 milyar.
Selain itu, kata Satyo, dalam proses pelelangan telah terjadi pelanggaran terhadap SOP pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pelabuhan II dengan cara penunjukkan secara langsung kepada PT Telkom. Dalam pelaksanaannya PT Telkom mengalihkan kepada PT Sigma. “Kenyataannya dari sisi rencana kerja dan syarat (RKS) patut diduga telah terjadi penyimpangan dan rekayasa,” tegasnya.
Oleh karenanya, mereka menuntut kepada Kementerian Meneg BUMN agar melakukan audit investigasi secara menyeluruh terhadap pengelolaan PT Pelabuhan II dan menolak pertanggungjawaban direksi Pelabuhan II di RUPS.