REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Guru besar dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kacung Maridjan, menilai, perubahan parliamentary threshold (ambang batas perolehan kursi di parlemen/DPR) dari 2,5 persen menjadi lima persen tidak signifikan. "Perubahan dari 2,5 persen menjadi lima persen itu hanya mengubah dari sembilan parpol menjadi enam parpol, sehingga tidak ada beda signifikan," kata pakar ilmu politik itu, Minggu (20/6).
Menurut dia, parliamentary threshold sebesar 2,5 persen sebetulnya sudah cukup. Alasan dia, batasan sebesar itu sudah mampu menyederhanakan parpol dari 38 parpol menjadi hanya sembilan parpol. "Di negara plural seperti Indonesia, jumlah parpol kurang dari sepuluh parpol sesungguhnya sudah cukup, karena kalau disederhanakan lagi jutsru akan mengurangi tingkat demokrasi seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru," katanya.
Oleh karena itu, kata alumnus Australian National University (ANU) itu, hal yang paling signifikan saat ini bukan mengurangi jumlah parpol, melainkan mendorong komitmen koalisi yang menguntungkan rakyat. "Enam atau sembilan parpol itu sudah efektif, tapi kalau komitmen koalisinya tidak kuat, maka enam atau sembilan parpol akan sama saja yakni sama-sama tidak efektif," kata dosen Pascasarjana Unair Surabaya itu.
Salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU) 2010-2015 itu menyatakan, komitmen koalisi yang kuat akan menghasilkan pemerintahan yang efektif dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
"Komitmen koalisi yang kuat itu dapat didasarkan pada ideologi, tapi untuk saat ini akan lebih kuat bila didasarkan pada kebijakan yang prorakyat, seperti pengentasan kemiskinan, penguatan produk pertanian, pengembangan potensi kelautan, dan banyak lagi," katanya.
Ia menambahkan hal itu akan mendorong parpol bukan sekedar memenangkan pemilu tapi akhirnya melupakan rakyat pascapemilu, karena parpol sudah melakukan komitmen koalisi berdasarkan kebijakan untuk rakyat yang terukur.