REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG--Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Susilo Utomo mengatakan, masuknya anggota Komisi Pemilihan Umum Andi Nurpati menjadi pengurus Partai Demokrat bukan hal baru, karena sebelumnya sudah ada kasus yang sama.
Kasusnya hampir sama dengan Anas Urbaningrum. Waktu itu Anas hengkang dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi pengurus Partai Demokrat, kata Susilo Utomo, di Semarang, Ahad. Kasus sebelum Anas, Hamid Awaluddin juga melakukan hal serupa. Hamid menerima tawaran sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada periode I kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Kinerja KPU sekarang memang lemah kapabilitasnya. Banyak permasalahan yang muncul terkait daftar pemilih tetap (DPT) termasuk munculnya kebijakan yang menyebutkan masyarakat dapat menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat memilih, meskipun tidak masuk DPT," katanya.
Susilo menilai meskipun ada celah untuk menilai KPU tidak netral, kasus Andi Nurpati yang masuk menjadi pengurus partai tidak bisa menjadi tolok ukur bahwa KPU tidak independen. "Tidak bisa dengan Andi Nurpati menjadi pengurus partai, kemudian menilai KPU tidak independen. Permintaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memeriksa Andi Nurpati, tidak beralasan. Itu, menyangkut hak individu Andi Nurpati untuk mengambil jabatan lain," katanya.
Akan tetapi, lanjut Susilo, UU Tentang Penyelenggara Pemilu jelas mengatur bahwa anggota KPU harus netral. Jika Andi Nurpati menjadi pengurus parpol, maka konsekuensi yang harus diambil yakni mengundurkan diri. "Andi Nurpati harus 'angkat kaki dan membawa koper' meninggalkan KPU dan menjadi pengurus Partai Demokrat. Akan menjadi masalah, jika Andi Nurpati tidak mau mengundurkan diri," katanya.
Andi Nurpati duduk dalam kepengurusan Partai Demokrat Periode 2010-2015 sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik.