REPUBLIKA.CO.ID, KABUL, AFGHANISTAN--Pada akhir 2008, tak lama setelah ia diklaim berjasa menarik Irak dari jurang kehancuran, Jenderal David H. Petraeus bersiap untuk kembali lagi ke perang Amerika yang lain. "Saya selalu mengatakan, Afghanistan akan menjadi pertempuran lebih keras," begitu ungkap sang jendral saat itu.
Kini beban itu jatuh ke pundaknya. Penunjukkan Petraeus dilakukan pada saat menentukan bagi kampanye Presiden Obama ditengah situasi politik Washington tak menentu dan juga untuk memperoleh kembali momentum dalam perang yang telah berlangsung 9 tahun itu.
Bisa dibilang, penunjukkan Petraeus ke Afghanistan mirip dengan tugas yang pernah ia emban tiga tahun lalu di Irak, ketika situasi sudah terlihat tanpa harapan bagi sejumlah tentara Amerika, rakyat maupun wakil mereka yang duduk di parlemen.
Namun ada perbedaan krusial: Di Irak, Jenderal Petraeus dipanggil untuk bertugas dan menggantikan strategi gagal yang diterapkan komandan sebelumnya. Sedangkan di Afghanistan, Jenderal Petraeus diharapkan menjadi alat untuk mengembangkan dan melaksanakan strategi yang dibesut oleh Jenderal Stanley McChrystal. Kini Petraeus akan langsung bertanggung jawab atas sukses maupun kegagalan atas strategi tersebut, risiko besar terhadap reputasi yang ia bangun di Irak.
Petraeus dijadwalkan akan mengambil alih komando tertinggi di Afghanistan hingga 18 bulan, yang berarti ia pun harus menunjukkan kemajuan signifikan terhadap komando tertinggi AS, Presiden Obama, bila hendak melanjutkan posisinya. Bahkan sebelum laporan Petraeus, pada Desember ini, Obama dan penasihatnya akan mengevaluasi strategi tersebut dan hasilnya akan dinyatakan sebagai laporan utama kemajuan. Namun, sejumlah kalangan meragukan, Obama dan pemerintahannya akan melakukan itu.
Jendral "tak Ortodok"
Petraeus, 57, dianggap sejumlah pengamat militer memiliki sejumlah kemampuan istimewa: pribadi karismatik, kecerdasan yang menukik dan ambisi besar untuk sukses. Ia juga dikenal mudah bergaul dengan pers dan khalayak serta negosiator ulung. Jenderal satu ini bisa dibilang mampu membedakan diri dengan pendahulunya dalam kemampuan politik yang membawanya melalui bulan-bulan sulit saat menangkis serangan di Iraq, yang dikenal sebagai 'periode intens kenaikan'.
Pada bulan-bulan tersebut, tepatnya di tahun 2007, ketika korban dari Amerika mencapai jumlah tertinggi dalam perang, Petraeus tidak hanya menyalahkan strategi pendahulu dan seniornya, bahkan juga kebijakan Presiden George W. Bush. Ia menyerang dengn kritikan keras melalui konferensi video dari Baghdad.
Di Irak, Petraeus dianggap membantu mengubah keberuntungan, dengan mengirim pasukan tambahan 30 ribu tentara Amerika ke Baghdad sekaligus--langkah yang dianggap tak biasa--memperkuat kesepakatan dengan pemimpin militan, yaitu pihak lawan yang menghabiskan tahun-tahun sebelum untuk membunuh tentara Amerika.
Seiring dengan peningkatan kerjasama, ia juga melakukan gerakan di Irak yang dikenal sebagai Kebangkitan Sunni yang membantu penurunan gamblang terhadap tingkat kekerasan di sana. Hingga kini, gerakan itu diklaim mampu menekan kekerasan terjadi di negeri seribu satu malam itu.
Dengan ide-idenya, Petraeus memenangkan reputasi sebagai komandan penuh sumber daya talenta dan dianggap jendral gaya baru jauh dari ortodok. Sejak itu, ia disebut-sebut sebagai kandidat presiden berikut.
Namun masalahanya, Afghanistan adalah perang yang sepenuhnya berbeda yang terjadi di negara yang juga berbeda. Perang Irak terjadi di negara perkotaan yang kaya minyak dengan banyak masyarakat kelas menengah berpendidikan. Sementara Afghanistan adalah negara yang masih tercabik, di mana struktur lapisan sosial dan infrastruktur fisik hancur akibat perang tiga dekade.
Di Irak, kaum militan berada di tengah kota dan perang dalam kota merupakan aksi utama tentara koalisi NATO. Sedangkan di Afghanistan, mereka tersebar di penjuru wilayah, di pegunungan, di padang pasir dan juga di pedalaman pedesaan.