REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ada indikasi tingkat kematangan demokrasi Indonesia masih sangat lemah, terutama dalam wacana hak pilih bagi para perwira TNI. Pengamat politik Universitas Indonesia, Andi Widjajanto mengatakan hak tersebut layak diberikan kepada para perwira.
Ia merujuk pada undang-undang yang diterapkan untuk Pemilu 2004 dan 2009 lalu. Dalam peraturan itu disebutkan secara spesifik kapan hak pilih TNI tidak boleh diberikan, yaitu pada 2004. Begitu pula untuk Pemilu pada 2009. “Artinya, setelah tahun tersebut para perwira memiliki hak pilihnya,” katanya.
Sekarang pun, lanjutnya, mereka secara konstitusional punya hak tersebut. “PR-nya, jika hak pilih itu kembali dicabut, alasan apalagi yang bisa diberikan oleh pemerintah,” tanyanya.
Apabila ternyata hak tersebut tetap tidak diberikan, lanjut Andi, ini menunjukkan dua hal. Pertama, ada ketidakpercayaan bahwa reformasi militer sudah mencapai tujuannya yaitu Indonesia tidak mempunyai tentara politik. “Kalau ini terjadi, secara tidak langsung, Presiden gagal melaksanakan reformasi militer,” ujarnya.
Kedua, masih ada kekhawatiran partai politik tertentu akan memanfaatkan TNI untuk kepentingan kekuasaanya. Pola ini dikhawatirkan akan mengulang masa Orde Baru, saat TNI menjadi mesin politik untuk penguasa. Kenyataannya, keberadaan TNI masih dianggap terus menerus melakukan intervensi politik.