REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Jakarta Fair yang dihelat setiap tahun tampaknya mulai menjauh dari kepentingan rakyat. Komersialisasi kini begitu kental di ajang yang digelar setiap hari ulang tahun Kota Jakarta ini. Rakyat kecil mulai tersingkirkan dari event tersebut.
Lihat saja nasib seorang tukang penjual kerak telor, Abing, yang tak sanggup membayar sewa tempat berjualan di Jakarta Fair. Abing kini memilih untuk menjajakan dagangannya di Jalan Haji Benyamin Sueb, jalan yang menuju arena Jakarta Fair. Bersama puluhan pedagang pikulan lainnya, dia memilih berdagang di trotoar jalan karena lebih menghemat.
Bagi Abing, harga sewa lapak di Jakarta Fair yang senilai Rp 1 juta sudah terlalu mahal. Uang sebanyak itu tak terjangkau kantongnya. ''Tapi kami boleh juga kok masuk ke arena, tapi nanti malam, sekitar jam 21.00-22.00 WIB,'' katanya sambil berharap pada saat itu masih ada pengunjung yang membeli kerak telornya.
Umar, seorang pengunjung, mengeluhkan harga barang atau makanan yang dianggapnya cukup mahal. Bahkan tiket masuk yang dibelinya, meski memberikan diskon untuk membeli produk makanan tertentu tak ada yang dimanfaatkannya. Baginya, harga makanan itu tetap saja mahal meski sudah diiming-imingi diberi diskon. ''Ah itu cuma untuk menarik orang membeli saja. Misalnya dua burger dan satu botol teh, harganya Rp 25 ribu pakai kupon karcis. Saya bisa dapat lebih murah untuk dua burger plus satu botol teh di luar sana,'' katanya.
Istri Umar juga mengeluhkan hal serupa. Awalnya, dia ingin membeli pakaian yang kabarnya didiskon. Tapi nyatanya, diskon itu tak ada bedanya dengan toko-toko lain di pusat perbelanjaan. ''Sebulan penuh, sedang ada 'Jakarta Great Sale', semua pertokoan memang sedang kasih diskon 'gede-gedean','' ujarnya.
Menurut Umar, Jakarta Fair sekarang jauh berbeda dengan masa lalu ketika masih digelar di Monas. Terakhir, Jakarta Fair digelar di Monas pada 1991. Waktu itu, ajang ini dinilainya benar-benar merupakan pesta rakyat. ''PRJ sekarang tak ada bedanya dengan yang di mal-mal, jualannya sama persis, tak terlalu istimewa,'' kritiknya.
Sedangkan Egy, pengunjung lainnya, mengaku sedih melihat cara berjualan dengan cara 'tipu-tipu' seperti ditemuinya di mal-mal. Dia kecewa melihat cara penjualan produk peralatan kesehatan impor seperti alat penyaring air, pengisap debu, atau alat pijat. ''Saya disamperi seorang sales ditawari cinderamata sebotol pembersih kaca gratis. Saya sudah tahu kalau saya ambil, KTP saya nanti ditanya dan bakal dapat hadiah undian yang ternyata kalau mau diambil syaratnya disuruh beli barang lainnya seharga empat jutaan. Itu sih buang-buang waktu saja,'' keluhnya.
Egy juga membatalkan antriannya untuk mengetahui kadar kolesterolnya yang ditawarkan secara gratis di sebuah stan penjualan obat Cina, karena ternyata bakal diarahkan untuk membeli obat.