REPUBLIKA.CO.ID, DRESDEN--Pembunuhan Marwa El-Sherbini telah mengguncang Jerman serta memicu kecaman dari dunia Islam. Pembunuhan yang terjadi di ruang pengadilan kota Dresden ini mengundang perdebatan tentang keamanan di pengadilan Jerman.
Marwa E-Sherbini beserta suaminya, Elwy Ali Okaz, datang ke Eropa pada tahun 2004. Elwy Ali Okaz, ahli biologi molekuler, mendapat beasiswa dari Max-Planck Institut untuk menyelesaikan studi masternya di Dresden. Sementara Marwa, seorang apoteker, kemudian bekerja di sebuah apotik.
Bencana bermula ketika pada bulan Agustus 2008, Marwa terlibat pertengkaran mulut dengan Alex W. di tempat bermain anak-anak. Kala itu, Alex W. memaki Marwa dengan ucapan islamistis dan teroris. Beberapa saksi yang melihat kejadian itu menelpon polisi. Dan kasus ini akhirnya sampai ke meja pengadilan. Alex W. menolak telah melakukan penghinaan. Namun dalam proses sidang pun Alex W kerap melayangkan komentar bernada anti orang asing.
Dalam sidang pengadilan banding pertama, 1 Juli 2009, Marwa yang sedang mengandung anak keduanya hadir sebagai saksi. Marwa datang di pengadilan Dresden didampingi suami dan anak pertama mereka, Mustafa. Saksi mata menuturkan, tiba-tiba dengan cepat terdakwa berjalan ke arah Marwa, lalu menghujamkan pisau yang dibawanya ke tubuh Marwa. Marwa El Sherbini tewas di tempat, di depan mata anaknya. Suaminya, Elwy Ali Okaz, yang berusaha untuk menolong Marwa, turut pula menjadi korban penikaman, terbaring di lantai berlumuran darah.
Pembunuhan ini bukan saja memicu kemarahan di Jerman, melainkan juga kecaman internasional. Demonstrasi digelar di Iran dan di tanah kelahiran Marwa, Mesir. Pembunuhan terhadap Marwa ini juga memicu perdebatan mengenai sistem keamanan di pengadilan Jerman. Keluarga korban juga menuduh, aparat pengadilan turut bertanggung jawab atas peristiwa ini, karena lemahnya pengamanan.
Empat bulan setelah aksinya, Alex W. divonis hukuman seumur hidup. Dalam putusannya, hakim menyatakan, Alex W. telah melakukan tindak kejahatan berat. Dengan vonis yang dijatuhkan kepadanya, mustahil bagi pria berusia 29 tahun ini untuk dapat bebas setelah 15 tahun menyelesaikan masa hukuman..
Kini Elwy Ali Okaz, serta Mustafa, hidup di Inggis, bekerja sebagai peneliti di sebuah universitas. „Ia baik-baik saja,“ dikatakan seorang mantan rekan kerjanya di Dresden, yang masih menjalin kontak dengan pria berusia 32 tahun ini. Okaz mendapat gelar doktornya di Dresden. Tapi sejak proses pengadilan selesai, Okaz berusaha menghindari kota Dresden. Upacara peringatan satu tahun pembunuhan Marwa juga dilaksanakan tanpa kehadiran Okaz.
Di ruang depan gedung pengadilan dipajang sebuah plakat perunggu bertuliskan Bahasa Jerman dan Arab untuk mengenang kekerasan brutal di gedung ini. "Kita memiliki kekuatan untuk melakukan segala kemungkinan untuk mencegah hal ini terulang kembali,“ dikatakan wali kota Dresden Helma Orosz.