REPUBLIKA.CO.ID,Kasus pembunuhan massal muslim di Srbrenica masih belum tuntas bagi banyak anggota keluarga. Terutama menyangkut peranan PBB dan prajurit-prajurit helm biru asal Belanda, yang tidak dapat menghindari pembunuhan massal ini.
Sifatnya yang tidak dapat diserang dan makna internasionalnya membenarkan imunitas PBB, dan ini lebih penting daripada keinginan ibu-ibu dari Srbrenica. Yaitu paling tidak 6000 perempuan yang kehilangan suami, anak dan bapaknya pada pembunuhan massal di wilayah kekuasaan PBB 15 tahun lalu.
Demikian vonis sebuah pengadilan sipil di Den Haag beberapa waktu lalu. Bagi para ibu dari Srbrenica, ini merupakan sebuah tamparan. Oleh karena itu mereka kembali menugaskan para pengacaranya untuk pergi ke pengadilan tertinggi di Belanda untuk mencabut imunitas PBB.
Pengacara asal Amsterdam Axel Hagedorn terutama ingin menyelesaikan satu masalah. “Tidak dapat diterima, bahwa di dalam Uni Eropa ada satu organisasi seperti PBB yang dapat bertindak di ruang hukum bebas dan tidak harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Juga tidak di hadapan pengadilan independen, terserah apa yang yang terjadi?”, ujarnya.
Jika imunitas PBB benar-benar dicabut, maka satu hal akan diperjelas 15 tahun setelah pembunuhan massal muslim di Srbrenica. Yakni, apakah para prajurit helm biru dari Belanda, yang seharusnya mengamankan daerah perlindungan PBB, justru memungkinkan terjadinya pembunuhan massal ini karena tidak melakukan apa-apa?
Para prajurit pasukan perdamaian PBB ini dituduh tidak melakukan apa-apa. Hanya ikut menyaksikan, ketika pasukan Bosnia-Serbia dari mantan kepala negara Radovan Kadadzic menyerbu Srbrenica dan membunuh hampir semua lelaki Muslim. Karena tuduhan pembunuhan massal, Radovan Karadzic harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam proses pengadilan berkepanjangan di mahkamah internasional di Den Haag.
Jika bisa dibuktikan, bahwa para prajurit helm biru turut bertanggung jawab dalam pembunuhan massal ini, maka mereka harus membayar ganti rugi yang sangat tinggi. Di samping ganti rugi bagi para ibu dari Srbrenica, yang kehilangan keluarganya dalam peristiwa tersebut, Axel Hagedorn juga ingin meraih hal lain dengan gugatannya.
Yaitu agar “sebuah organisasi seperti PBB yang mengambilalih semakin banyak tanggung jawab di wilayah konflik, yang semakin sering tampil di wilayah krisis, juga harus segera melakukan reformasi internal, agar PBB tidak muncul dalam situasi, dimana mereka terus kehilangan kepercayaan, karena hanya dilihat sebagai organisasi peperangan dan tidak lagi sebagai organisasi yang tampil untuk memperjuangkan HAM.“
Pengacara asal Amsterdam ini sadar, bahwa dengan tuntutannya ini ia memberikan beban yang sangat berat kepada pengadilan tertinggi Belanda. Ia mengatakan bahwa "Orang harus tahu, bahwa ini memang pengadilan Belanda dan disini trauma Srbrenica masih menimbulkan situasi yang sangat sulit. Oleh karena itu sebenarnya diperlukan kelapangan dada untuk melawan perasaan orang Belanda.“
Yang diinginkan dalam gugatan atas prajurit-prajurit Belanda ini adalah permintaan maaf, bahwa mereka tidak mempunyai mandat dan mempunyai persenjataan militer yang cukup untuk melawan pasukan Bosnia-Serbia. Jika hakim dari Belanda tidak mau memberikan keputusan dalam gugatan ini, maka para ibu dari Srbrenica dan pengacara-pengacaranya masih punya satu harapan.
Yaitu agar institusi tertinggi Belanda meneruskan kasus ini kepada mahkamah Eropa di Luxemburg. Dengan demikian penanganan kasus ini akan bebas dari segala perasaan dan sikap nasionalis. Jürgen Kleikamp/Anggatira Gollmer