REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Fraksi PDI Perjuangan DPR menilai pemberian hak politik kepada TNI/Polri masih belum diperlukan. Argumen mereka karena berbagai kondisi yang bisa menjamin institusi itu independen dalam pemilu masih belum terpenuhi.
Kepada pers di Gedung DPR Jakarta, Senin (5/7), Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo memperkirakan bahwa untuk kurun waktu 20 tahun ke depan, pemberian hak politik untuk para anggota TNI/Polri tersebut masih belum diperlukan. Meskipun, Tjahjo mengakui, itu merupakan hak setiap warga negara.
"Kalau ada yang memaksakan untuk memberikan hak politik kepada TNI/Polri sementara institusi itu sendiri belum siap menerimanya, kita mempertanyakan ada apa ini?" ujarnya "Kalau tetap ini dipaksakan, maka sudah jelas siapa yang akan diuntungkan," ujar Tjahjo.
Ungkapan senada disampaikan anggota Komisi I DPR dari FPDIP, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin. Ia mengatakan, ada lima parameter yang harus dipertimbangkan sebelum memberikan hak pilih kepada TNI/Polri.
Pertama, apakah ada jaminan masyarakat bahwa pada 2014 nanti suasananya akan aman. "Jika berkaca pada pilkada yang digelar di berbagai tempat yang banyak diwarnai oleh aksi kekerasan, kita khawatir apabila pemberian hak pilih pada TNI/Polri itu justru terlalu dini," ujarnya.
Parameter kedua, menurut dia, apakah sudah ada jaminan dari TNI/Polri jika para anggotanya diberikan hak politik hal tersebut tidak memecah persatuan korps. Selanjutnya apakah ada jaminan dari para politisi dan juga pemerintah bahwa mereka tidak akan menarik-narik TNI/Polri sebagai pendukungnya.
Berikutnya adalah dalam UU tentang TNI telah disebutkan bahwa TNI tidak boleh berpolitik praktis sehingga gagasan memberikan hak politik pada mereka harus terlebih dahulu mengamandemen undang-undang yang ada.
"Terakhir adalah akan adanya problem dalam penyaluran aspirasi oleh para anggota militer," ujar Hasanuddin.
Anggota FPDIP lainnya yang juga Ketua DPP PDIP Sidharto Danusubroto mengatakan, hak pilih itu merupakan hak setiap warga negara. Tetapi persoalannya dalam dunia militer yang berlaku adalah sistem komando. Dalam sistem itu, sangat sulit untuk dibangun demokrasi dan independensi yang sehat. Apalagi, ia menambahkan, untuk menjadi independen yang dibutuhkan adalah otak yang cerdas dan perut yang kenyang.
Ia mengemukakan bahwa berbagai pelanggaran pemilu, berdasarkan UU tentang Pemilu, diatur oleh peradilan umum. Dalam kaitan itu, ia mempertanyakan apakah para anggota TNI/Polri bisa dilimpahkan ke pengadilan umum apabila mereka melakukan pelanggaran pemilu.
Jadi, Sidharto menambahkan, apabila pemberian hak pilih kepada TNI/Polri itu akan diberikan sebaiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu setelah pemilu tahun 2014. Uji coba, kata dia, bisa dimulai dari tingkat pilkada terlebih dahulu.