REPUBLIKA.CO.ID,PARIS--Pemimpin militer Myanmar menggunakan pendapatan gas yang diperoleh dari raksasa energi Amerika Serikat dan Prancis, Chevron dan Total, untuk mendanai sebuah upaya ilegal membangun senjata nuklir, menurut pengamat hak asasi manusia dalam laporannya di Myanmar. Perusahaan gas Myanmar, Yadan, yang dijalankan oleh dua perusahaan bersama dengan perusahaan Thailand PTTEP, menghasilkan miliaran dolar AS bagi para pemimpin militer, kata kelompok hak asasi manusia yang berkantor pusat di Paris, EarthRights Internasional, mengutip data dari perusahaan- perusahaan itu.
Organisasi non pemerintah itu juga menyebut perusahaan-perusahaan itu terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia seperti pembunuhan dan kerja paksa di pipa kilang minyak. Kelompok itu mengatakan bahwa Chevron, Total dan PTTEP telah menghasilkan sembilan miliar dolar AS (tujuh miliar euro) dari pipa kilang minyak Yadana di Myanmar sejak 1998, lebih dari separuhnya langsung masuk ke kantong junta.
"Para perusahaan itu membiayai ancaman nuklir terbaru dunia dengan pembayaran multi miliar dolar AS nya," kata EarthRights dalam sebuah pernyataan. "Dana-dana itu telah memingkinkan junta mempertahankan kekuaasaanya dan mengejar ambisinya memiliki program senjata nuklir yang mahal dan ilegal."
AS telah menyuarakan keprihatinannya mengenai kerjasama Myanmar dengan terduga pemilik senjata nuklir Korea Utara setelah sebuah organisasi berita yang berkantor pusat di Norwegia, Suara Demokratik Burma, mengatakan Myanmar mencoba membangun sebuah bom atom. Pemerintah Myanmar --sesekali masih disebut sebagai Burma-- bulan lalu menolak klaim itu dan menyebutnya sebagai tak berdasar.
EarthRights mengatakan bahwa penyelidikannya menunjukkan bahwa pendapatan dari gas telah dimasukkan ke rekening-rekening bank di luar negari dan diduga digunakan untuk membeli persenjataan dan teknologi nuklir. EarthRights, mengutip pernyataan warga dan para pengungsi, juga menduka: "Perusahaan minyak juga terlibat dalam pembunuhan warga etnis Mon dan kerja paksa. Aksi kekerasan itu dilakukan oleh prajurit Militer Burma yang menyediakan jasa keamanan bagi para perusahaan itu dan pipa kilang minyak pada tahun lalu."
EarthRights meminta para perusahaan untuk menerbitkan perincian dari pembayaran mereka kepada para pemimpin Myanmar. "Sekarang adalah waktu bagi masyarakat internasional untuk menitikberatkan kepada pusat syaraf para jenderal, pendapatan gasnya," katanya.
Laporan itu memasukkan jawaban dari Chevron dan Total, yang mengatakanbahwa mereka menyukai transparansi namun tetap mencegah menerbitkan sejumlah perincian tertentu. "Chevron menghormati hak asasi manusia di masyarakat dan negara dimana kami beroperasi," kata jawaban dari perusahaan AS itu.
Chevron dalam beroperasi di Myanmar memenudi etika bisnis di Myanmar dan sesuai dengan peraturan dan hukum AS, tambahnya. Namun "kewajiban kontrak: mencegah perusahaan itu menerbitkan perincian pembayaran. EarthRights mengutip pernyataan dari Total yang mengatakan bahwa perusahaannya mendukung transparansi dan hak asasi manusia namun terikat untuk menghormati keinginan Myanmar ketika itu berkaitan dengan menjaga kerahasiaan pembayaran.
"Total menghormati kedaulatan negara dan menjaga untuk mencampuri proses politik," katanya dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh laporan EarthRights. "Sebagai hasilnya, Total tidak dapat membeberkan setiap pembayaran atau informasi mengenai kontrak jika negara tuan rumah menentang hal itu."