Kamis 15 Jul 2010 04:06 WIB

Konferensi Hakim MK, Mencari Titik Temu Pemilu yang Baik

Rep: kim/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Konferensi ke 7 Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) se-Asia yang digelar di Indonesia merupakan titik temu positif bagi negara peserta. Terutama dalam hal pemilu sebagai sebuah potret demokrasi. "Yang paling menarik itu mencari titik temu dari sistem yang berbeda," ujar Ketua MK Indonesia, Mahfud MD, ketika ditemui wartawan di Hotel Ritz-Carlton, Rabu (14/03).

Negara peserta konferensi itu datang dari berbagai latar belakang dengan sistem pemerintahan berbeda, sistem politik berbeda, dan sistem peradilan berbeda. Tetapi sama-sama bertemu untuk mendapatkan masukan tentang penyelenggaraan pemilu secara baik. Sesuai dengan tema konferensi tersebut yang membahas dinamika pemilu.

Dalam diskusi yang diikuti sekitar 27 negara, Indonesia banyak memberikan kontribusi terkait pengalaman menyelenggarakan pemilu. Setelah era reformasi, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu, yaitu tahun 2004 dan 2009. Kedua pemilu itu dilakukan secara langsung, sebuah bentuk pemilihan pertama setelah masa orde baru.

Kemudian ditunjukan pula bahwa Indonesia memiliki peradilan pemilu yang cukup efektif. Putusan-putusan lembaga peradilan itu meskipun pada awalnya kontroversial tapi tetap itu dilaksanakan oleh semua lembaga. "Tidak ada satupun kasus pemilu yang diputus MK itu yang tidak efektif, itu yang kita ceritakan pada negara negara lain," ujar Mahfud.

Hal ini menujukan bahwa Indonesia cukup berhasil melalui masa transisinya, dari orde baru ke masa demokrasi. Padahal, kata Mahfud, biasanya masa transisi itu sering terjadi konflik dan pengebirian terhadap hukum. Kehadiran MK dianggap mampu mengurangi konflik itu, dan justru memberikan makna positif bagi pembangunan.

Lebih lanjut Mahfud menjelaskan, diskusi yang digelar selama dua hari sejak Selasa (13/07) lalu itu, ternyata memunculkan sesuatu yang bisa diadopsi oleh Indonesia. "Misalnya masalah constitutional complaint," kata Mahfud. Banyak negara yang sudah menangani kasus constitutional complaint yaitu satu kasus saat jalur hukum biasanya sudah ditempuh tapi masih salah juga.

Mahfud lalu bercerita tentang banyaknya vonis di Indonesia yang sudah berkekuatan hukum tetap tapi tidak dilaksanakan. Terutama menyangkut kasus kasus pertanahan. Dia mempertanyakan apakah pemerintahnya yang lumpuh atau memang tidak mau melaksanakan vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap itu. "Nah kalau seperti itu rakyat bisa melakukan constitutional complaint," katanya.

Di beberapa negara lain, MK mempunyai kewenangan untuk melakukan pemaksaan. Agar pelaksanaan tugas MK itu berjalan lancar, sudah ada cara dan instrumen yang disediakan oleh negara. Sehingga MK bisa memaksa agar putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap itu dilaksanakan. Contoh lain, yaitu tentang putusan yang sudah final namun ternyata salah.

"Saya beri contoh ya, ada seseorang membuat akte notaris di Gresik lalu ini digugat dilaporkan di pengadilan pidana di surabaya karena diduga kejahatannya dilakukan di surabaya dan di surabaya dihukum pnjara orang yang buat akte itu. Tapi kemudian ada putusan pengadilan di Gresik yang memutuskan aktenya itu sah secara hukum tapi kemudian dua putusan tersebut sama sama inkracht, nah kalau soal seperti ini kan hanya constitutional complaint yang bisa dan di indonesia kan belum ada," jelas Mahfud.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement