Rabu 21 Jul 2010 07:48 WIB

Babak Baru Perang Salib Berlangsung di Afrika?

Rep: cr2/ Red: irf
Bekas Ledakan Bom Uganda yang memposisikan Islam sebagai tertuduh
Foto: ap
Bekas Ledakan Bom Uganda yang memposisikan Islam sebagai tertuduh

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Dengan penuh fitnah dan memutarbalikkan fakta, sebuah artikel memojokkan Islam termuat di laman New York Post. Artikel itu judul aslinya 'The coming crusade, African Christians vs Islamists' (Babak Baru Perang Salib, Kristen Afrika VS Islam). Sebuah judul yang sangat provokatif. Berikut adalah terjemahan bebas dari artikel tersebut.

Perang salib memasuki babak baru dan kini tidak berlangsung di Timur-Tengah melainkan Afrika. Tragedi penyerangan di Uganda yang dilakukan oleh Islam fanatik terhadap Kristen Afrika dinilai sebagai salah satu bukti.

Bukti lain, pertumbuhan penduduk Afrika yang beragama Kristen meningkat pesat ketimbang Islam. "Umat Islam keliru, Islam bukanlah agama dengan pertumbuhan tercepat di Afrika. Dengan catatan jumlah kelahiran dan peralihan kepercayaan, Kristen lebih unggul," tulis Raphl Peter dalam artikel tersebut.

Peters menyebut, di Kenya, gembong teroris asal Somalia, Al-Shabaab selalu menghasut dan membuat masalah. Selain itu, kata dia, pemerintah Sudan yang Islam selama beberapa dekade selalu melecehkan pemeluk Kristen Afrika. "Saya kira, kesabaran diberbagai wilayah telah menipis, gereja tidak akan lagi memberikan pipi lainnya. Pembalasan tentu akan datang," kata dia.

Peter juga mengungkap imperialisme Islam di Afrika yang menyingkirkan Kristen Afrika di negara-negara seperti Mesir, Libya, Tunisia, Yaman dan Arab Saudi bakal terbalaskan dengan kekuatan massa yang bertujuan untuk membalikan keadaan atau membuat konflik antarnegara.

"Dalam kurun waktu belakangan, dalam perjalanan saya ke kawasan sub sahara, Afrika, saya mengunjungi kota Muslim di Mombassa, Swahili, daerah pantai di Kenya. Saya menemukan satu tempat yang memberlakukan agama sama rata. Saya berterima kasih pada kebodohan pendanaan yang diberikan Arab Saudi, sehingga membuat banyak masjid, sehingga sedikit menghadirkan massa yang kritis. Islam di Mombassa seolah ngantuk, berdebu dan bosan," paparnya.

Peter menyebut umat Islam di Kenya cenderung malas, terlalu dimanja oleh pemerintah Arab Saudi sehingga kebudayaan asli mereka menguap dan menghilang. Anak-anak Kenya, kata dia, diharuskan pergi ke madrasah bukan sekolah pemerintah. Sebaliknya, umat Kristiani bangkit, Gereja tidak memanjakan mereka. Namun, Gereja membuat mereka senang setiap hari Minggu.

Ia menuturkan setiap bagian di kawasan timur pantai Swahili nampak seperti museum yang diabaikan. Umat Kritiani yang diperbudak oleh umat Islam kian memperkuat dirinya. Kekuatan itu telah membaptis umat Islam. Penolakan aliran Wahabi, kata Peter, menghadirkan kemalangan hidup yang tidak terbandingkan.

"Sepanjang sub-Sahara Afrika, mistisisme agama lama rakyat Afrika meluncur dengan mudah ke dalam agama Kristen karismatik, tetapi bertabrakan secara frontal dengan aliran Wahabi. Ketika saya mencapai Afrika Barat dalam perjalanan kemudian, saya sadar bahwa Islam tidak pernah berhasil menembus hutan (budaya Afrika)," kata dia.

Di dalam hutan, lanjut Peter, terdapat kepercayaan alam gaib yang tidak memberikan ruang pada Islam sunni. Warga Kristen Afrika berhasil mengintepretasikan Yesus sebagai sosok yang gaib, penuh keajaiban. Sementara Wahabi, kata dia, tertahan ajaran sehingga tidak bisa menjangkaunya.

"Saya tidak pernah menyaksikan semangat keagamaan seperti yang saya lihat dalam sub-Sahara Afrika, dari utara Kenya dan Zimbabwe melalui barat ke pantai timur Afrika. Ketika serangan teroris Islam terhadap Kristen Afrika, mereka bermain dengan api. Warga Kristen Afrika akan segera merespons dan Gereja Afrika bisa menjadi gereja ultra militan," ungkapnya.

Tentara Salib, lanjut Peter, akan merespons jihad tersebut kendati mendapat tantangan dari Arab Saudi ataupun negara-negara teluk lainnya. Mereka, klaimnya, tidak peduli dengan penderitaan umat Islam secara individual. Mereka hanya peduli tentang Islam.

Peter menyatakan dana yang dialokasikan oleh pemerintah Saudi untuk pembangunan masjid di kawasan dengan sedikit Muslim seperti Tanzania Barat atau Timur Tennesse hanyalah bentuk konstruksi provokatif belaka. Menurut dia, setiap masjid berperan membentuk klaim bahwa kawasan itu merupakan negara Islam dengan batas-batas kekalifahan yang penuh dengan mimpi.

Di sisi lain, lanjutnya, tujuan bersama antara Pemerintah Saudi Arabia, Al-Qaeda, Taliban dan Somalia hanya menghindarkan Muslim dari persatuan dengan komunitas non Muslim. Di Kenya, pembauran kalangan Muslim dengan non Muslim akan berdampak negatif terhadap umat Islam di negara tersebut. Umat Kritiani akan memberikan reaksi berupa pembentukan propoganda dengan merekrut tentara Islam yang bertugas melakukan bom bunuh diri.

Peter memprediksi ambisi halusinasi Islam radikal yang terus berkembang berpotensi menjadi tragedi dalam skala besar. Perselisihan agama , kata dia, bisa memecah belah Nigeria. Di tempat lain di Afrika, Muslim akan dengan cepat menemukan dirinya mengalami kekalahan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement