REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG--Kontribusi badan usaha milik negara terhadap negara selama ini masih rendah, sebab dari 132 BUMN yang ada pada 2009 hanya memberi pemasukan sebanyak Rp86,32 triliun, kata pakar manajemen Tanri Abeng. Berbicara dalam Forum Komunikasi BUMN Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Semarang, Kamis, ia menyatakan Cina yang hanya memiliki 131 BUMN, tahun lalu memberi kontribusi sekitar Rp1.500 triliun.
Seharusnya BUMN Indonesia bisa memberi pemasukan negara lebih besar dari sekarang bila kondisi mayoritas badan usaha pelat merah ini memang sehat dan menguntungkan. Menurut dia, rendahnya sumbangan tersebut disebabkan hanya sebagian kecil BUMN yang mampu meraih keuntungan signifikan.
Dari 132 BUMN, kata mantan Menteri Negara BUMN itu, keuntungan 13 BUMN mendominasi setoran ke kas negara dengan jumlah Rp73,74 triliun atau 85,4 persen dari total keuntungan seluruh BUMN. Ke-13 BUMN itu antara lain PT Pertamina, PT Telkom, PT PLN, BRI, Bank Mandiri, dan lainnya. Sementara itu, 119 BUMN lainnya hanya sedikit memberi keuntungan secara signifikan, bahkan belasan BUMN selama ini mengalami kerugian beruntun.
Terhadap BUMN yang merugi terus-menerus, Tanri mengatakan, sebaiknya perusahaan ini dilepas atau dijual kepada swasta karena boleh jadi dilihat dari skala usahanya memang tidak sekelas sebagai BUMN.
Namun, katanya, pemerintah juga harus melihat lebih saksama terhadap keberadaan perusahaan, apakah mereka merugi karena tidak bisa berkembang akibat terbentur permodalan atau masalah mismanajemen.
Ia memberi contoh, PTPN di Sulawesi sebenarnya bisa berkembang bila perusahaan perkebunan ini ditarik dalam sebuah "holding" sehingga posisi tawarnya pada bank bisa lebih kuat untuk mendapatkan tambahan modal usaha. Tanri mengingatkan, pemerintah harus berpikir realistis dan bertindak cepat agar kerugian yang dialami belasan BUMN tersebut tidak berlanjut. "Pemerintah harus segera bertindak jika memang menyadari sebagian besar BUMN yang merugi tersebut harus dijual," katanya.
Ia menambahkan hasil privatisasi dapat digunakan untuk mengembangkan sektor-sektor BUMN yang direstrukturisasi. Tanri menilai ada kesalahan pengertian soal privatisasi BUMN yang selama ini berkembang. Privatisasi, katanya, sebenarnya melepaskan kontrol negara atas BUMN itu, namun yang terjadi selama ini pelepasan saham di bawah 50 persen dianggap privatisasi. "Itu bukan privatisasi, melainkan restrukturisasi kapital, sebab bila hanya menjual 20 persen saham, pemerintah tetap menjadi pengontrol BUMN, katanya.
Ia menilai terjadi logika berpikir terbalik, yakni hasil privatisasi digunakan untuk membayar utang luar negeri sehingga citra privatisasi menjadi buruk di mata publik. Menurut dia, hasil privatisasi tidak digunakan untuk membayar utang, terutama utang luar negeri, tetapi untuk memperkuat struktur permodalan BUMN agar bisa "go international". Sebagian keuntungan itulah, katanya, yang seharusnya digunakan untuk bayar utang.
Ia mengatakan sebagian besar BUMN Indonesia juga masih menjadi jago kandang dan belum banyak melakukan penetrasi pasar di luar negeri. Kondisi ini sangat berbeda dengan BUMN di Cina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Tampil sebagai pembicara budayawan Prof. Eko Budihardjo dan Natal Iman Ginting dari PT Telkom. Eko Budihardjo pada kesempatan itu secara berseloroh menyindir, "China sudah menetapkan diri sebagai penghasil 'hardware' (peranti keras), Singapura 'software' (peranti lunak), sedangkan Indonesia 'no where."