Senin 26 Jul 2010 19:38 WIB

Pelapor Gratifikasi ke KPK Masih Rendah

Rep: Indah Wulandari/ Red: Endro Yuwanto
KPK
KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melansir pelaporan gratifikasi pejabat pemerintah pusat dan daerah masih rendah. Dari 33 provinsi di Indonesia, hanya 15 provinsi yang melaporkan tindak gratifikasi. Se lembaga independen dan kementerian sebagai pelapor terbanyak.

"Saat ini, yang melaporkan gratifikasi sangat sedikit di setiap provinsi. Bahkan ada yang tidak ada laporan gratifikasinya. Tidak mungkin tidak ada penerimaan gratifikasi," ujar Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono Umar, akhir pekan lalu.

Berdasarkan data Direktorat Gratifikasi KPK tahun 2009, dari 33 provinsi di Indonesia, hanya 15 provinsi yang melaporkan tindak gratifikasi. Yaitu sebanyak 83 laporan dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah 19 laporan, Jawa Barat enam laporan, Sumatra Utara empat laporan, dan Lampung tiga laporan. Jambi, Kalimantan Timur, dan Bali masing-masing dua laporan, serta Nanggroe Aceh Darussalam, Bengkulu, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan Papua masing-masing hanya satu laporan. Sehingga total ada 128 laporan.

Rendahnya tingkat pelaporan gratifikasi juga terlihat dari laporan gratifikasi berdasarkan intansi periode hingga Juni 2010. Dari 128 laporan itu, lembaga independen dan kementerian masing-masing 23 laporan, DPR 16 laporan, pemerintah kabupaten 15 laporan, DRPD 14 laporan, lembaga pemerintah nondepartemen (nonkementerian) 13 laporan, 8 laporan dari lembaga setingkat kementerian, 6 laporan dari BUMN/BUMD, 5 dari pemerintah provinsi, tiga dari yudikatif, serta hanya satu laporan datang dari pemerintah kota dan kepresidenan.

Dari jumlah itu, sebut Haryono, 41 di antaranya masih dalam proses penelitian di Direktorat Gratifikasi. Sebanyak 26 laporan diidentifikasi sebagai milik penerima, 24 laporan dianggap sebagian milik negara, 20 laporan dinilai milik negara, dan terhadap 17 laporan lainnya KPK telah melayangkan surat peringatan.

Haryono menyatakan, gratifikasi memang belum bisa didefinisikan sebagai suap. Namun, gratifikasi dipastikan sebagai salah satu pintu terjadinya transaksi suap menyuap. Bedanya, pemberian suap kepada penyelenggara negara dimaksudkan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sementara, tindak gratifikasi masih belum secara spesifik menyebut maksud pemberian."Gratifikasi ini memicu tindak pidana korupsi. Karena ada yang memberi hadiah, tapi entah kapan nanti ada maksudnya," ulas Haryono.

Haryono menambahkan, aturan mengenai gratifikasi nanti akan lebih mempertegas mengenai sanksi. Termasuk, berapa nilai uang atau barang yang wajib dilaporkan ke Direktorat Gratifikasi KPK. Pasalnya, saat ini segala jenis hadiah yang diterima penyelenggara negara wajib dilaporkan ke KPK, tanpa ada klasifikasi detail.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement