REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING--Pemerintah di Cina telah mengembangkbiakkan dan melatih 'pasukan' rubah berbulu perak yang dibawa dari peternakan bulu. Ini dilakukan guna memerangi wabah tikus yang mengancam dataran rumput yang sangat luas di barat Cina.
Pemerintah Xinjiang membawa 20 rubah pada 2004 dan sejak itu hewan tersebut telah beranak-pinak jadi 284 ekor dan dilepaskan ke alam liar. "Rubah adalah predator alamiah yang luar biasa terhadap hewan pengerat. Satu rubah dapat menangkap sebanyak 20 tikus per hari. Telah terjadi penurunan populasi tikus di beberapa kabupaten tempat tindakan itu telah disahkan," kata juru bicara pemerintah Cina, Ni Yifei, seperti dilansir Xinhua, Kamis (29/7).
Jumlah tikus telah melonjak tajam akibat kondisi panas yang tidak biasa dan mengancam lebih dari 5,5 juta hektare lahan ramput. Di satu daerah tempat rubah telah dilepaskan, jumlah tikus telah merosot sampai 70 persen. "Rubah perak dipilih sebagai penempur tikus karena kemampuannya yang luar biasa untuk berlari, berburu, dan hidup di bawah kondisi hidup yang berat di savana," kata Ni.
Rubah perak lebih biasa diternakkan di Xinjiang untuk diambil bulunya, yang digunakan untuk membuat pakaian.
Beberapa wilayah lain lain misalnya di Xinjiang menggunakan srigala, burung elang, dan bahkan ayam serta itik untuk mengendalikan jumlah tikus. "Itu adalah cara hijau untuk menggulangi masalah tikus," ujar seorang pejabat lain, Lin Jun.
Ada juga orang yang menggunakan burung hantu (Tyto alba), predator tikus yang sangat potensial, di perkebunan kelapa sawit. Predator itu mampu menurunkan serangan tikus pada tanaman muda hingga di bawah 5 persen. Sementara itu, ambang kritis serangan tikus di perkebunan kelapa sawit sebesar 10 persen.
Pada umumnya penanggulangan serangan tikus di perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan racun tikus (rodentisida). Namun cara tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup dan dianggap tidak ekonomis.