Jumat 30 Jul 2010 03:22 WIB

Indef: Pertumbuhan Ekonomi Rapuh

Rep: thr/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Paruh pertama perjalanan ekonomi Indonesia pada 2010 telah dilalui. Meski berjalan positif, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat rapuh dan berjalan lambat.

Dari sisi permintaan pertumbuhan lebih ditopang oleh konsumsi. Sementara dari sisi penawaran pertumbuhan didorong oleh sektor non tradeable (tidak dapat diperdagangkan) seperti pengangkutan dan komunikasi bukan pada Industri manufaktur.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef), Ahmad Erani Yustika, dalam kajian tengah tahun ekonomi Indef "Kerentanan Mikro Ekonomi di Balik Stabilitas Makro Ekonomi", Kamis (29/7).

Menurut Erani, pada kuartal pertama pertumbuhan ekonomi Indonesia secara year on year tumbuh 5,7 persen. Pertumbuhan pada triwulan ini menciptakan lonjakan produk domestik bruto (PDB) dari Rp 528,1 triliun menjadi Rp 558,1 triliun. Dari sisi permintaan kinerja perekonomian disumbang oleh dua sektor utama yakni konsumsi swasta dan ekspor.

Sektor konsumsi swasta berkontribusi 57,7 persen yang didonasikan oleh sektor konsumsi rumah tangga. Bila dikalkulasikan dengan konsumsi pemerintah maka sektor konsumsi berkontribusi hampir 65 persen.

Sementara sektor ekspor sudah mulai tumbuh seiring dengan membaiknya permintaan dunia. Pertumbuhan ekspor meningkat 19,6 persen dengan kontribusi sekitar 24,1 persen. Di sisi lain Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) secara year on year hanya tumbuh 7,9 persen. "Dengan struktur seperti ini kedepan kita sulit untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi yang cepat, karena masih terus mengandalkan konsumsi," ujar Erani.

Hal yang patut dikhawatirkan dari tingginya realitas konsumsi ini adalah mengalirnya jenis barang-barang impor. Pada Januari sampai dengan Juni kemarin tercatat porsi barang impor meningkat menjadi 7,38 persen dari sebelumnya 6,99 persen periode yang sama tahun lalu.

Lebih lanjut Erani mengungkapkan, dari sisi penawaran pertumbuhan ekonomi yang kembali ditopang oleh sektor non tradeable seperti pengangkutan dan komunikasi menjadi catatan tersendiri. Pasalnya, pertumbuhan sektor riil atau tradeable justru mengalami perlambatan, terutama di sektor industri.

Pertumbuhan sektor Industri pengolahan pada kuartal pertama hanya mampu tumbuh 3,6 persen. Berbeda dengan masa-masa sebelum krisis 1998, ketika Industri mampu tumbuh double digit. "Orang menyebutnya ini deindustrilasisasi. Karena jika mengacu pada penyerapan tenaga kerja seharusnya pertumbuhan Industri dapat terus didorong tumbuh," paparnya.

Meningkatnya pertumbuhan disektor non tradeable seiring juga dengan naiknya pekerja di sektor non formal. Menurut Erani, pada 2008 lalu mereka yang bekerja disektor non formal sudah mencapai 61 persen. Sementara tahun 2009 meningkat menjadi 65 persen.

Permasalahan pada sektor tradeable cukup kompleks dan multidimensi, ini dapat dilihat dari sisi ketersediaan faktor produksi seperti lahan dan mesin. Ditambah minimnya dukungan baik dari pemerintah maupun pendanaan.

Lemahnya pembiayaan dapat tercermin dari minimnya dukungan dana dari perbankan. Perbankan mendapatkan profit dana yang besar tapi kredit yang disalurkan sangat kecil. "Sampai akhir 2009 kemarin kredit yang disalurkan hanya 25 sampai 26 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), padahal Filipina saja sudah 47 persen. Kita ini masih tergolong paling minim di dunia," terang Erani.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement