REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Melalui proses alot di sidang paripurna, DPR menerima hasil uji kelayakan dan kepatutan Komisi XI DPR yang memutuskan Darmin Nasution menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) terpilih. Tetapi, keputusan DPR ini diambil secara aklamasi tanpa keikutsertaan Fraksi PDIP dan Fraksi Partai Hanura.
‘’Sidang paripurna DPR menerima keputusan Komisi XI DPR mengenai hasil uji kelayakan dan kepatutan terhadap Darmin Nasution sebagai calon Gubernur BI,’’ kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, yang memimpin paripurna, Rabu (29/7). Keputusan ini keluar setelah DPR berdialektika lebih dari lima jam mengenai hal ini.
Sejak awal keputusan Komisi XI DPR mengenai hasil uji kelayakan dan kepatutan Darmin langsung mendapat hujan interupsi. Setelah dihentikan sementara selama kurang lebih tiga jam, tujuh fraksi menyatakan setuju menerima keputusan Komisi XI DPR tersebut. Satu fraksi, Partai Hanura, menolak. Sedangkan FPDIP mengusulkan pelaksanaan pemungutan suara (voting) untuk pengambilan keputusan mengenai hal ini.
Paripurna akhirnya menerima usu FPDIP untuk menggelar voting. Tetapi, mayoritas anggota menghendaki voting dilakukan secara terbuka. Atas perkembangan ini, FPDIP menyatakan tata tertib DPR mengatur bahwa voting terkait nama seseorang harus dilakukan secara tertutup.
Karena tidak ada titik temu dan Priyo sudah mengetuk palu untuk pelaksanaan voting terbuka, maka FPDIP menyatakan keluar dari sidang paripurna dan tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Langkah ini kemudian diikuti Fraksi Partai Hanura.
Ditemui di luar ruang sidang, Wakil Ketua DPR dari FPDIP Pramono Anung Wibowo mengatakan fraksi dan partainya tidak mempersoalkan Darmin Nasution. ‘’Ini bukan soal setuju atau tidak setuju dengan Pak Darmin, tapi ini masalah ketaatan pada ketentuan tata tertib DPR,’’ kata dia.
Pramono mengatakan sikap fraksi dan partainya terhadap Darmin sudah jelas sejak awal. ‘’Kami mendukung pencalonan Pak Darmin, dengan catatan-catatan yang melekat,’’ tegas dia. Pramono mengatakan apapun hasil dari paripurna ini adalah proses politik yang harus diterima sebagai kenyataan politik.