Kamis 05 Aug 2010 03:59 WIB

Perjuangan Bertahan Hidup Pembuat Kafiyeh Terakhir di Palestina

Pabrik kafiyeh milik Yasser Hirbawi
Foto: Nir Kafri/Guardian
Pabrik kafiyeh milik Yasser Hirbawi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Satu per satu, pabrik pembuat kafiyeh di Palestina yang biasa dikerjakan oleh industri rumahan sejak puluhan tahun lalu, gulung tikar. Kafiyeh, simbol perlawanan bangsa Palestina yang biasa dikenakan mendiang Yaser Arafat, itu bukannya tak populer lagi di sana.

Bahkan, kafiyeh kini sudah mendunia, digunakan dari mulai rakyat Palestina, kelompok keras, moderat, sampai ke kalangan non Muslim di berbagai negara sebagai simbol dukungan perjuangan bagi Palestina. Namun di negerinya sendiri, pabrik kafiyeh itu sekarang tak berdaya. Musuhnya, bukanlah serangan dari Israel atau karena embargo yang dikenakan oleh negara zionis itu.

Namun, penyebabnya ternyata adalah kafiyeh impor yang kini membanjiri tanah Palestina yang berasal dari Cina. ''Kafiyeh buatan Cina seperti kertas rokok,'' kata Jouda Hirbawi (44 tahun). ''Mereka lebih murah, tapi kualitasnya lebih rendah.''

Jouda Hirbawi adalah putra Yasser Hirbawi, pemilik pabrik kafiyeh terakhir yang masih beroperasi di Palestina. Seperti ditulis Guardian, di kantornya yang kumuh di samping pabrik rumahan miliknya yang sepi, Yasser Hirbawi (76) membungkuk di sofa sambil merajut kafiyeh di antara jari-jarinya. Kafiyeh bermotif kotak-kotak yang ada dipangkuan dan kepalanya itu kini menjadi seperti hiburan kecil bagi dirinya.

Pabrik yang dimilikinya kini hanya mempekerjakan dua putranya dan seorang lagi karyawan lainnya. Setelah hampir 50 tahun, bisnis keluarganya itu sekarang sedang tertatih-tatih berjuang untuk tetap bertahan di tengah banjir impor kafiyeh murah dari Cina. Menurut Hirbawi, produsen Cina menggunakan polyester dan katun berkualitas rendah. Sebaliknya, kafiyeh buatanya dengan susah payah diproduksi dengan material berkualitas tinggi dan rasa sejarah di dalamnya.

Kafiyeh buatan Cina di sana dijual kurang dari dua pertiga harga kafiyeh asli Palestina. ''Kami menjual selusin untuk 100 syikal (17 pundsterling), sedang Cina menjual selusin seharga 60 syikal (10 pounsterling),'' kata Jouda. ''Orang-orang yang mengimpor sampah ini dari Cina yang membunuh produk lokal.''

Pabrik tekstil Hirbawi pernah mempekerjakan 15 orang, ditambah sekitar 25 perempuan lagi yang mengerjakan syal dari rumah masing-masing. Bahkan, pabriknya itu memiliki kegiatan pendukung lainnya yang menyerap sekitar 300 orang dan menghasilkan ratusan kafiyeh setiap hari. ''Kami bekerja 17 atau 18 jam sehari, yang memasok pasar lokal.''

Sekarang seorang karyawan yang tersisa bekerja bersama keluarga Hirbawi. Masuknya kafiyeh impor tak lepas dari penandatanganan perjanjian damai Palestina di Oslo tahun 1990-an awal. Setelah Otoritas Palestina yang baru terbentuk membuka pasar untuk impor. Akibat kebijakan itu, sebenarnya, pabrik tekstil Hirbawi pernah ditutup pada 1995 karena pesanan yang terus berkurang.

''Kami tutup selama lima tahun,'' ujar Jouda ''Lalu kami berkata, 'Ini adalah satu-satunya usaha yang bisa kita lakukan'. Jadi kami memutuskan untuk mencoba lagi.''

Hirbawi mengusulkan agar otoritas Palestina mengenakan bea masuk yang tinggi bagi produk impor untuk melindungi industri lokal. Melindungi pabrik lokal dianggapnya jauh lebih penting dari sekadar mengimpor yang hanya menguntungkan pedagang. ''Pedagang hanya ingin mendapatkan keuntungan,'' keluhnya.

Kini, pabrik rumahan Hirbawi hanya berharap penjualan kafiyeh dari wisatawan atau pengunjung asing yang datang ke Palestina. Keluarganya akan berusaha agar pabrik terakhir di Palestina itu tidak ditutup seperti yang lain. ''Banyak orang asing memakai kafiyeh untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Palestina,'' kata Jouda.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement