REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Polri mengaku rahasia pribadi pejabat publik memang dapat dibuka termasuk rekening bank. Akan tetapi, rahasia pribadi tersebut harus mendapat persetujuan dari Komisi Informasi Pusat (KIP).
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Edward Aritonang, mengatakan, berdasarkan pasal 18 ayat 2 UU No 14 /2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, seseorang tidak bisa dibuka rahasia pribadinya termasuk rekening bank. "Tetapi pejabat publik bisa atas persetujuan komisi informasi,"ungkapnya kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (5/8).
Edward mengaku sudah mengonsultasikan hal tersebut kepada wakil Ketua KIP, Heny S Widyaningsih tentang persoalan tersebut. Menurutnya, Heny sudah menunjukkan referensi bahwa UU KIP harus menghormati UU yang ada sebelumnya.
"Itu saya bisa menunjukkan referensinya. Kecuali itu delik khusus atau lec spesialis mengenyampingkan lec generalis. Tapi kan kedudukannya sama dan dia menghormati undang-undang yang ada sebelumnya," jelas Edward.
Pernyataan Edward ini kembali mengemuka setelah timbul permasalahan mengenai apakah nama dan rekening 23 perwira Polri dapat dibuka karena sebelumnya transaksi yang bersangkutan dinyatakan bermasalah oleh Pusat Pelaporan Transaksi dan Keuangan (PPATK).
Menurut Edward, berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 31 UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Laporan PPATK adalah bersifat rahasia. Maka siapa pun wajib merahasiakan dokumen dan atau keterangan tersebut.
Selain itu, ungkap Edward, berdasarkan pasal 10 A, penyidik Polri wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut termasuk di depan pengadilan kecuali untuk memenuhi kewajiban UU. Apabila terjadi pelanggaran, lanjut dia, dapat diancam dengan perbuatan pidana maksimal tiga tahun penjara untuk kelalaian dan 15 tahun penjara untuk kesengajaan.
Hanya Ketua Komisi Informasi Pusat, Alamsyah Saragih berpendapat berbeda. Menurut Alamsyah, argumen Polri bahwa nama dan besaran rekening perwira Polri yang ada dalam Laporan Hasil Analisis (LHA) harus dirahasiakan sesuai dengan UU Pencucian Uang tidak beralasan.
Alamsyah mengatakan, Undang-Undang No 25/2003 harus melihat Undang-Undang yang dibuat belakangan, yakni Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). "Undang-Undang terdahulu (Pencucian Uang) harus mengalah kepada undang-undang belakangan (Keterbukaan Informasi Publik)," ujar Alamsyah saat dihubungi Republika, Senin (2/8).