Rabu 11 Aug 2010 08:51 WIB

Awas, Teroris Mampu Rekrut Anggota dari Aparat Keamanan

Densus 88 Polri
Densus 88 Polri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kepala Desk Koordinator Pemberantasan Terorisme di Kementerian Koordinator Polhukam, Ansyaad Mbai, mengatakan, pergerakan terorisme dalam melakukan perekrutan anggotanya sudah masif dan terkoordinasi. Bahkan, mereka mampu merekrut anggota Polri dan TNI dengan tujuan mendapatkan senjata.

''Masalah ini sudah sangat berbahaya dan sangat memprihatinkan. Dengan merekrut anggota TNI dan Polri, mereka bisa mendapatkan senjata,'' ujar Ansyaad Mbai dalam 'Diskusi Terorisme di Era Globalisasi' di Jakarta, Selasa (10/8).

Menurut Ansyaad, perekrutan anggota terorisme sudah pada level yang sangat memprihatinkan. Mereka mampu merekrut anggotanya dari berbagai lapisan, bukan hanya pada masyarakat kampung, melainkan sudah pada lapisan akademis dan aparat kemanan, yang dinilai mereka lebih efektif dan menguntungkan. ''Di kampus pergerakan sudah sangat radikalisme jika tidak diawasi, bahkan ada sarjana teknik yang ikut menjadi teroris,'' tambahnya.

Fenomena yang terjadi pada terorisme ini bukan hanya pada masalah kesejahteraan, tetapi juga ketidakadilan yang dialami mereka. ''Osama Bin Laden adalah orang kaya dan kurang apa? Nurdin Top dan Dr Azhari mereka bukan orang miskin. Jadi tidak satu sumber faktor permasalahan terorisme,'' ingatnya.

Ketidakadilan juga bisa mempengaruhi terjadinya terorisme. Suasana tidak adil ini dibesar-besarkan kemudian disisipi ideologi radikal dan membawa-bawa agama, dapat juga terjadi tindakan terorisme.

Menanggapi penangkapan Ustadz Abu Bakar Basyir oleh Densus 88 Polri, menurut Ansyaad, tindakan itu sudah sesuai prosedur, karena tidak mungkin Densus 88 menangkap orang tanpa ada bukti. ''Tinggal bagaimana nanti kepolisian membeberkan bukti-bukti itu,'' jelasnya.

Pengamat terorisme Al Chaidar justru menyakini penangkapan Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) itu merupakan kesalahan besar yang telah dilakukan Mabes Polri. Apalagi dasar yang digunakan sebagai dalil di balik aksi penangkapan adalah pengakuan dari para tahanan teroris Aceh.

Chaidar mengungkapkan dalam perjalanannya Jamaah Islamiyah telah mengalami perpecahan menjadi dua kelompok, karena berseberangan pandangan. Kelompok pertama adalah JAT pimpinan Abu Bakar Ba'asyir yang lebih memilih jalan dakwah dan fokus di wilayah pendidikan. Sedangkan kelompok kedua adalah Tandzim Qoidatul-Jihad (TQJ) yang tetap bergerak di bawah tanah untuk melakukan aksi-aksi teror. Di antara anggota kedua kelompok ini tidak akur.

Keyakinan Al Chaidar, Ba'asyir tidak terlibat dalam jaringan Aceh lantaran seorang anggota teroris Aceh yang ditahan polisi, yaitu Syailendra Ady Sapta (40 tahun), adalah orang yang antipati terhadap Ba'asyir. "Saya biasa panggi dia Abu Sidik. Dia sangat antipati dengan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Ini menunjukkan keanehah apabila Ustadz Abu terlibat (jaringan Aceh)," ujarnya.

Bagi Al Chaidar, tidak menutup kemungkinan para teroris Aceh yang ditahan polisi membuat pengakuan palsu untuk menjerumuskan orang-orang yang telah berseberangan pandangan dengan kelompoknya. "Jangan-jangan orang yang antipati itu membuat pengakuan di BAP yang kemudian menyebut-nyebut Ustadz Abu Bakar Ba'asyir," jelasnya.

sumber : kominfo
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement