REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah seharusnya tidak bersikap terlalu aktif dalam menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) selama realisasi penyerapan anggaran masih lambat, demikian kata anggota DPR dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Budimanta. "Kebijakan ini sepatutnya direvisi karena pengalaman menunjukkan kebijakan yang hiperaktif dalam menerbitkan SBN akan mengakibatkan terjadinya sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) di APBN pada dua tahun terakhir 2008-2009," kata Arif yang juga anggota komisi keuangan dan Perbankan DPR RI di Jakarta, Rabu (11/8).
Utang pemerintah Indonesia periode Januari-Juli 2010 tercatat Rp1.625,63 triliun. Angka itu bertambah Rp34,97 triliun dari posisi akhir 2009 yang Rp1.590,66 triliun. Jika dihitung dengan denominasi dolar AS, jumlah utang pemerintah mencapai 181,59 miliar dolar AS atau bertambah 12,37 miliar dolar AS dari jumlah di akhir 2009 yang sebesar 169,22 miliar dolar AS.
"Naiknya jumlah nominal utang negara menunjukkan sikap hiperaktif dan boros dari pemerintah dalam menerbitkan SBN yang tidak sebanding dengan realisasi penggunaan APBN yang masih rendah," ujarnya. Realisasi belanja negara sepanjang semester I-2010 baru Rp395,8 triliun atau 35,1 persen dari target Rp1.126,1 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat sepuluh kementerian atau lembaga dengan anggaran terbesar masih minim belanja. Realisasi tertinggi dibukukan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pekerjaan Umum.
Pada Selasa (10/8) pemerintah kembalii melakukan lelang Surat Utang Negara (SUN) dan menyerap dana sebesar Rp4 triliun dari total penawaran yang masuk sebesar Rp17,18 triliun. Penyerapan dana dari lelang empat seri SUN ini lebih besar dari target indikatif yang ditetapkan sebelumnya sebesar Rp3 triliun. Padahal, dari empat seri yang dilelang, lelang SPN20110811 (new issuance) yield-nya hanya 5,84 persen.