Oleh A Riawan Amin
Sebuah kalimat bijak menyebutkan, “Semua perjalanan adalah perjalanan kejiwaan.” Kita adalah jiwa yang sedang hidup di alam raga. Menurut Teilhard de Chardin, “We are not human beings having a spiritual experience, we are spiritual beings having a human experience.” (Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Manusia bukanlah “makhluk bumi” melainkan “makhluk langit”).
Menyandar spiritualitas kejiwaan sebagai sentral kehidupan manusia, Islam menekankan perlunya terus membina dan menjaga konstelasi dan integritas spiritualitas tersebut. Sayangnya, sebagai makhluk spiritual kita kerap “terjebak” pada fisik, emosi, dan pikir, manusia kurang memperhatikan jati dirinya yang sejati.
Pada kondisi inilah Ramadhan dihadirkan oleh Allah SWT. Bulan yang dijadikan sarana untuk kembali menemui dan mengasah jati diri sejati, spiritual. Proses pengendalian diri sebagai inti dari puasa telah menempatkan manusia kembali pada posisinya yang tepat. Melepaskan semua belenggu-belenggu fisik, emosi, dan pikiran yang kerap mengontaminasi spiritualitasnya. Karena, sesungguhnya saat manusia mampu melepaskan diri dari ketertawanan fisik, emosi, dan pikir, maka ia seolah terlahir kembali dari rahim ibunya. Bersih tanpa noda sedikit pun
“Barangsiapa yang melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan penuh harap kepada Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya di masa lalu.” (HR Bukhari dan Muslim). Begitupun, bila puasa yang dilakukan hanya sebatas fisik semata, tidak mampu menelisik hingga ke relung-relung jiwa, maka ia tak akan memperoleh apa pun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga semata. (HR An-Nasai).
Dalam konteks manajemen hidup, Ramadhan memberikan banyak pelajaran. Di sini, kita mampu menemukan kesejatian diri. Menyambut kehadiran Ramadhan dengan suka cita, sebagaimana mengisinya dengan gembira dan penuh antuasias, sesungguhnya menjadi awal pembuka kebahagiaan abadi sebagai puncak kesuksesan diri yang dicari manusia.
Mampu memanfaatkan Ramadhan sebagai bagian ibadah terindah, berbagi yang terbaik, dan berjuang dengan sepenuh hati, merupakan mekanisme perjalanan jiwa menuju kesejatiannya. Menemukan diri yang sebenarnya. Itulah diri spiritual.
“Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya itu untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya. Puasa itu adalah perisai. Jika datang hari puasa seseorang di antara kalian, maka janganlah ia berkata rafats dan jangan memaki. Jika ada orang memakinya atau memancing berkelahi, hendaklah ia berkata: 'Aku sedang berpuasa'. Demi Zat yang jiwa Muhammad di tangannya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih wangi daripada wangi misik. Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan: jika ia berbuka, ia berbahagia; dan jika ia bertemu Tuhannya, ia berbahagia karena puasanya.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad).