REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Pendiri Rumah Sakit Dr Sardjito, Prof Dr M Sardjito, MPH selama ini dikenal sebagai sang maha guru. Karena dia tidak hanya guru di dalam bidang ilmiah, melainkan juga guru di dalam penelitiannya, guru di dalam pengajarannya, dan guru di dalam spiritual untuk Universitas Gadjah Mada (UGM).
''Jadi pendidikan Pak Sardjito untuk murid-muridnya tidak hanya intelegensia, melainkan juga moral, susila, dekat dengan Allah dan terutama sekali sangat nasionalis, berdedikasi untuk negara dan bangsa,'' ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM Prof Dr dr Sutaryo, SpA(K) pada wartawan di sela-sela acara Haul (Mengenang) Prof Dr M Sardjito, MPH dan buka bersama dengan Forum Wartawan RSUP Dr Sardjito, baru-baru ini.
Prof Sardjito yang lahir tanggal 13 Agustus 1889 di Desa Purwadadi, Magetan ini mempunyai jiwa pengabdian yang tidak memikirkan untuk diri sendiri, melainkan untuk keilmuan, masyarakat, negara dan bangsa. ''Karya yang paling monumental dan tidak bisa dipungkiri adalah Rumah Sakit Sardjito dan Universitas Gadjah Mada,'' kata Prof Sutaryo.
Dunia pendidikan dan kedokteran telah mendarah daging dalam jiwa seorang Sardjito. Dia mengawali pendidikan kedokteran di Stovia (Scholl tot Opleiding voor Indische Artsen) Jakarta pada tahun 1907-1915. Pada saat itu seniornya di Stovia, Wahidin Sudirohusodo, Sutomo, dan lain-lain sedang menyiapkan berdirinya Budi Utomo. Sardjito pun ikut aktif menjadi anggota Budi Utomo.
Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 Sardjito diminta untuk mengambil alih institute Pasteur Bandung bersama dr Moh. Saleh, dan kawan-kawan. Pada zaman perang dengan sekutu tahun 1946 Laboratorium Pasteur pindah ke Tegalyoso, Klaten. Pada 20 Mei 949 dia mewakili perguruan tinggi di Klaten dan Solo untuk mengikuti rapat di Kepatihan Yogyakarta mengenai rencana penggabungan perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta, Solo, dan Klaten.
Atas tawaran Sultan Hamengku Buwono IX yang memberikan tempat untuk pemindahan perguruan tinggi dari Solo dan Klaten ke Mangkubumen, akhirnya atas komando Sardjito penggabungan tersebut berjalan lancar. Pada awal berdirinya perguruan tinggi ke Yogyakarta menempati kamar kereta sebagai poliklinik kamar penjaga untuk laboratorium bakteriologi, kamar pelayan untuk laboratorium kimia, dsn kandang kuda menjadi rumah sakit.
''Rumah sakit di kandang kuda itulah yang menjadi tonggak lahirnya RSUP Dr Sardjito yang kini menjadi megah,''ungkap Prof Taryo.
Dalam Peraturan Pemerintah No 23 tertanggal 16 Desember tahun 1949 menetapkan perguruan tinggi perlu digabung dan diberi nama Universitas Negeri Gadjah Mada (UNGM) dan Sardjito yang pada saat itu berusia 60 tahun terpilih sebagai rektor pertama UNGM dan waktu itu disebut sebagai Presiden Universiteit. Dia membangun Gedung Pusat UGM tahun 1951-1959 dan menjadi rektor UGM hingga tahun 1961.