REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kontroversi pembangunan masjid di kawasan Ground Zero belumlah selesai. Kendati Presiden AS Barack Obama telah merestui pembangunan masjid tersebut, sebagian masyarakat AS kian tidak rela bila ada masjid di kawasan dengan kenangan terpahit dalam sejarah AS.N
Menyusul kontroversi tersebut, muncul pandangan provokatif dari novelis dan kolumnis Belanda, Leon De Weinter. Menurut dia, seharusnya ketika masjid diperbolehkan dibangun di New York, Makkah juga harus menerima keberadaan gereja. Berikut pandangan Leon De Winter seperti termuat dalam laman Pajamas.com, Senin (16/8) :
"Prinsipnya, Roma memperbolehkan pembangunan masjid seluar 30.000 meter persegi dan boleh dikunjungi oleh siapapun. Namun, tidak dengan Makkah. Di kota suci umat islam tersebut, tidak diperbolehkan dibangun Gereja. Bahkan umat agama lain dilarang melintasi kota tersebut. Kesimpulannya, Roma merupakan kota terbuka dan Makkah merupakan kota tertutup.
Tidak ada yang pernah protes tentang larangan umat non muslim untuk melintasi kota Mekkah. Anehnya, mengapa tembok barat yang membelah Yerusalem dan diklaim Yahudi sebagai milik mereka memperbolehkan umat agama lain untuk melintas.
Atau contoh lain, keberadaan Gereja Basilika Saint Peter di Vatikan, pusat agama Katholik Roma boleh dikunjungi umat agama lain. Begitu pula dengan kuli Hindu dan Budha yang boleh dimasuki oleh umat agama lain. Tetapi mengapa tempat ibadah umat Islam tidak boleh dimasuki umat agama lain?
Umat Islam mengklaim agama mereka merupakan penyempurnaan agama sebelumnya. Dengan artian, ajaran agama lain tidak bisa diterima. Gereja dilarang di Arab Saudi. Tapi di Turki modern, gereja bisa direnovasi.
Dalam ajaran tradisional Islam, masyarakat yang tidak mengakui keberadaan Nabi Muhammad bakal menjalani hidup secara terbatas dengan peraturan khusus. Mereka itu yang disebut Dzimmi, orang yang percaya pada satu Tuhan tetapi harus hidup dengan pembatasan khusus karena penolakan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu, ketika berbicara di dunia Barat, umat Islam mengklaim mereka menghargai kepercayaan lain. Keberadaan mereka di negara dengan mayoritas Muslim, begitu diberikan ruang yang luas dan kesempatan untuk membangun masjid. Ide ini menandakan islam begitu superior, oleh Firman Allah, bahwa mereka harus memerintah bangsa dan agama lain di dunia."
Menanggapi ide De Weinter, Bernard Lewis, seorang Yahudi dalam pandangannya menilai klaim toleransi yang dilontarkan umat islam terbilang baru dan sangat asing. Toleransi hanya merupakan kedok pembelaan terhadap islam di masa lalu. Masyarakat Islam tradisional tidak diberikan keseteraan atau mereka berpura-pura menerapkan kesetaraan. "Bagaimana mungkin adanya perlakuan yang sama terhadap orang yang menolak Islam, ini akan menjadi kajian teologis yang jauh dari kesan logis," katanya.
"Cordoba Initiative, sebagai pihak yang mendorong pembangunan Masjid di kawasan Ground Zero, menginginkan adanya titik balik hubungan muslim dengan barat dalam dekade berikutnya. Dunia kemudian kembali ke program pengakuan, saling menghormati dan jauh dari ketegangan yang meningkat. Cordoba di abab ke 8 telah mengubah non muslim menjadi muslim.
"Saat itu, mereka (penguasa muslim Cordoba) mengatakan tidak ada Yahudi atau Nasrani yang diperbolehkan menggunakan baju mewah, tidak ada ahli hukum, tidak ada kesejahteraan individu, sebaliknya mereka harus dibenci dan dihindari. Mereka juga melarang bertegur sapa lantaran non muslim merupakan orang-orang yang melupakan peringatan Allah. Faktanya, di tahun 1011, penguasa muslim membunuh 4.000 Yahudi,"begitu Bernard menuding.