Kamis 19 Aug 2010 23:02 WIB

Perilaku yang Menangkal Gejala Negatif Modernisme

Red: irf
ilustrasi
Foto: Edi Yusuf/Republika
ilustrasi

Oleh Prof Dr Asep S Muhtadi

Ramadhan datang setiap tahun untuk mengingatkan kita agar memperbanyak perenungan dan pembelajaran. Tujuannya, untuk mempertajam sikap solidaritas dan meningkatkan kesadaran akan eksistensi sebagai manusia yang wajar, agar tidak terjebak pada sikap mempertuhan diri dan memperbudak yang lainnya.

Ramadhan memiliki pesan sosial untuk kita renungkan, terutama ketika masyarakat dan bangsa ini tengah menghadapi berbagai tantangan dan ketidakseimbangan dalam hidupnya. Ketidakseimbangan hidup itu berakibat pada munculnya berbagai pelanggaran sosial, ketidakadilan, permusuhan, eksploitasi hak-hak asasi, kompetisi yang tidak sehat, dan lain sebagainya.

Tantangan modernitas dewasa ini tidak hanya menantang untuk berpikir kritis dan bersikap dewasa, tapi juga dapat menggiring pada pola-pola kehidupan manusia yang tidak manusiawi: manusia yang berakal cerdas tapi berhati kering, manusia yang berbadan sehat tapi bermental sakit, manusia yang berwawasan luas tapi berperasaan sempit, manusia yang memahami alam tapi diperbudak alam, manusia-manusia yang merasa kesepian di tengah keramaian, manusia-manusia yang miskin di tengah tumpukan harta.

Beberapa gejala lainnya yang mencerminkan kehidupan tanpa akhlak pada beberapa waktu terakhir ini adalah munculnya sikap mementingkan diri sendiri dengan mengeksploitasi hak-hak orang lain. Atas nama demokrasi orang berani berbuat anarkis, atas nama keadilan orang tega memperkosa kebebasan orang lain, dan atas nama hukum tidak sedikit orang memandang lumrah sikap dan perilaku menindas dengan menyatakan sesuatu bukan yang sesungguhnya.

Dalam perspektif pesan universal puasa Ramadhan, di antara faktor penyebab merebaknya berbagai krisis di negeri ini, adalah karena ketidakmampuan menahan diri. Menahan diri untuk sanggup merasakan lapar dan dahaga; lapang dalam menghadapi berbagai godaan; tidak korupsi, dan optimistis dalam menempuh masa depan, tanpa harus melarutkan diri dalam kubangan kemungkaran.

Puasa merupakan proses transendensi untuk menetralisasi berbagai sifat buruk manusia. "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, dia amat kikir." (QS 70: 19-21).

Lihatlah, para pelaku yang menjadi sumber terjadinya sejumlah krisis di negeri ini. Mereka yang diduga atau bahkan telah terbukti melakukan tindak korupsi, perusak lingkungan, provokator tindak kekerasan, penipu, perampok, dan lain sebagainya, semuanya ada di depan mata kita.

Mungkin mereka juga sama-sama melaksanakan puasa selama bulan Ramadhan. Bahkan, mereka paling awal mengeluarkan zakat, paling besar berinfak untuk pembangunan masjid, dan tampak paling peduli menyapa fakir miskin.

Tapi, mereka telah mengingkari pesan utama puasa, yaitu kesanggupan menahan diri. Kesanggupan menahan diri menjadi pintu masuk ruang kemanusiaan yang hakiki. Sementara kegagalan menahan diri berarti telah membuka lebar pintu hilangnya martabat kemanusiaan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement