Jumat 20 Aug 2010 03:45 WIB

Pengusaha Terigu dan Olahan Terpaksa Naikkan Harga

Rep: shally/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengusaha terigu dan produk olahannya terpaksa menaikkan harga jual produk akibat lonjakan harga bahan bakunya. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman mengatakan, walau ada komitmen dari pengusaha terigu lokal untuk tidak menaikkan harga sampai Lebaran, di tingkat distributor dan pengecer harga sudah terjadi kenaikan.

''Harga dari pabrik sekitar Rp 90 ribuan (per karung isi 25 kilogram) dari pabrik, di tingkat distributor harganya sudah &p 120 ribuan,'' katanya kepada Republika usai Diskusi Gula Nasional 2010, Kamis (19/8).

Adhi mengkhawatirkan tren kenaikan harga terigu ini terjadi terus menerus seperti pada 2008. Kala itu, harga terigu per karung mencapai Rp 150 ribu. Hal ini menyulitkan pedagang kecil pengolah terigu seperti pembuat mi atau kue basah. ''Pemerintah perlu mengantisipasi dengan bekerja sama bersama produsen terigu lokal untuk melakukan operasi pasar,'' katanya.

Kenaikan harga bahan baku, kata Adhi, membuat produsen makanan kemasan berbasis terigu tidak punya pilihan lain selain menaikkan harga. Mengingat, belakangan ini mereka sudah sering melakukan perubahan kemasan versi mini untuk menyiasati kenaikan bahan baku yang lain. ''Mungkin makanan kemasan naiknya sekitar 10-15 persen, bahan bakunya saja sekarang sudah naik sekitar 30 persen. Akhir tahun ini harga sudah akan naik,'' ucapnya.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur mengatakan akibat krisis terigu ini harga bisa melonjak lebih dari 10 persen. Dia menambahkan, selama ini konsumsi terigu nasional sebesar 4,5 juta ton per tahun. Sementara itu produksi dari industri terigu dalam negeri hanya sebesar empat juta ton per tahun. Artinya, "Sisa kekurangan terigu sebesar 500 ribu ton harus diimpor," katanya.

Natsir memaparkan, selama ini tidak banyak produsen terigu di dalam negeri. Sehingga produsen makanan yang berbahan baku terigu skala besar akhirnya harus mengimpor terigu sendiri. "Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi, sebab kalau membeli terigu dari dalam negeri lebih mahal," katanya.

Sementara itu, pengamat pertanian, Anton Apriantono mengatakan, kebijakan diversifikasi atau subtitusi terigu untuk mengurangi ketergantungan terhadap komoditas ini, tidak terlepas dari kendala lahan. ''Katakanlah sekarang mau mensubtitusi terigu dengan singkong, sekarang tepung kasavanya mana? Industrinya ada tapi lahan untuk ditanaminya tidak ada,'' ucapnya ketika ditemui di sela-sela diskusi yang sama.

Anton menekankan, pemerintah harus melakukan pemetaan lahan dengan tepat sehingga bisa mengidentifikasi lahan terdegradasi yang bisa ditanami. Terlebih, perjanjian Moratorium Oslo membuat Indonesia tak leluasa melakukan ekspansi lahan. ''Di Merauke itu, padang rumput dibilang hutan. Saya setuju kalau hutan dilestarikan, tapi jangan savana dibilang hutan,'' ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement