Jumat 20 Aug 2010 03:49 WIB

Penyederhanaan Parpol Dianggap Penting Untuk Dilakukan

Rep: min/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Inisiatif menyederhanakan sistem politik dianggap penting untuk dilakukan. Karena, hal itu merupakan respons dewan terhadap aspirasi yang selama ini berkembang di masyarakat. Terkait banyaknya kejadian terkait pemilu yang dianggap harus dibenahi.

“Mulai dari jumlah Parpol, ambang batas perolehan suara/kursi di DPR (PT), ketentuan-ketentuan dalam Pemilukada yang dinilai masih lemah sehingga seorang berstatus tersangkat dibolehkan ikut kompetisi,” kata anggota DPR dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo kepada Republika, Kamis (19/8).

Termasuk juga didalamnya, kata dia, wacana tentang Pemilu serentak. Karenanya, menurut Bambang, isu terkait penyederhanaan parpol tersebut dianggap penting untuk diangkat dalam penyusunan RUU pemilu kedepannya.

Sementara, bertolak belakang dengan pernyataan Bambang, sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pakar PPP, Lukman Hakiem menyatakan bahwa terlalu dini jika para elite membicarakan penyederhanaan dalam RUU pemilu. Sebab, menurutnya diskusi yang berkembang terkait hal tersebut sudah melangkahi langkah awal yang seharusnya ditentukan terlebih dahulu. “Mau menggunakan sistim pemilu proporsional atau distrik,” katanya.

Sebab, menurut dia, jika kedepannya pemilu akan menggunakan sistim distrik, maka tak ada sedikitpun kaitnannya dengan banyak atau sedikitnya partai. Penyederhanaan yang dimaksud tersebut hanya bisa digunakan dalam sistim yang proporsional. Karena itulah, menurut dia, kerangka berpikirnya yang harus jelas.

Kalau masih berpikir tentang dapil dalam rangka untuk menyederhanakan partai, kata Lukman, berarti masih berpikir bahwa sistem pemilunya proporsional. Kalau menggunakan sistim tersebut, diakuinya, memang semakin sedikit parpol akan semakin bagus karena lebih mudah dan relatif tak ada suara yang hilang. Namun menjadi tak relevan jika menggunakan sistim distrik. Karena distrik yang memilih suara terbanyak otomatis akan membuat partai-partai kecil mati dengan sendirinya.

Hal inilah yang menjadi alasan Lukman meminta agar sebelum terlalu sibuk membicarakan revisi UU politik terkait Parliamentary Threshold atau pengurangan kursi dapil, harus terlebih dahulu didiskusikan sistim apa yang mau diambil. Apakah proporsiaonal murni atau distrik murni.

Hal ini menjadi penting karena mengingat belakangan pemilu kerap menggunakan sistim yang abu-abu. Yakni mencampur antara sistim proporsional dan distrik, dalam bentuk system proporsional yang menggunakan suara terbanyak. “Kalau sudah berani membicarakan penyederhanaan berarti harus bisa meningalkan sistim banci yang tidak jelas seperti sekarang,” tegasnya.

Ia kemudian mencontohkan, sistim pemilu yang digunakan pada 2009 itu sistem ngawur. Awalnya proporsional, namun ditengah-tengah pelaksanaan MK meminta suara terbanyak.

Menanggapi hal ini, Bambang mengatakan persoalannya bukan terlalu dini, tetapi ada urgensi untuk melakukan pembenahan sistem. Tentu, kata dia, tidak dilakukan secara serentak, melainkan dimulai dari apa yang disepakati sebagai prioritas. Misalnya, tambah dia, saat ini diwacanakan pembesaran PT (Parliamentary Threshold) hingga 5 persen.

Sementara, menurut Bambang, pemilihan untuk menggunakan sistim distrik membutuhkan waktu lagi agar diketahui masyarakat. Sosialisasi, kata dia, harus intens dan pastinya membutuhkan waktu. “Karenanya, diperlukan pertimbangan sangat matang sebelum kita membuat pilihan,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement