REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemberian remisi bagi koruptor bisa membuat frustrasi para penegak hukum. Ini tak membuat efek jera bagi pelaku korupsi.
"Masalah tersebut memang harus jadi pikiran kita juga, para penyidik, penyelidik, dan penuntut sudah bekerja keras termasuk hakim. Namun, ketika sudah dihukum justru mendapat pembebasan, lalu di mana efek jeranya?" ujar pelaksana harian (plh) Ketua KPK, Haryono Umar, Kamis (19/8), di Jakarta.
Haryono justru lebih mengkhawatirkan sisi psikologis para penegak hukum. Nanti, lanjutnya, penegak hukumnya jadi frustrasi juga.
Di sisi lain, Haryono juga meminta pemerintah memberi penjelasan gambang alasan pemberian remisi maupun grasi bagi koruptor. Seperti yang dialami mantan bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais, yang bebas karena grasi presiden pada Hari Kemerdekaan RI, kemarin.
"Perlu ditanyakan oleh masyarakat kenapa begitu besar mendapatkannya. Pemerintah harus bisa menjelaskan kenapa bisa memberikan grasi yang begitu besar itu," imbuh Haryono.
Pemberian remisi sesuai dengan Pasal 34 ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal itu menyebut, napi yang dipidana karena melakukan pidana terorisme, narkotika, korupsi, kejahatan keamanan negara dan HAM berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberi remisi jika memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani satu pertiga masa tahanan.
Diketahui, kasus korupsi tidak hanya ditangani KPK karena berdasarkan Pasal 11 huruf c UU No 30/2002, KPK berwenang menangani korupsi yang menyangkutkerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Di instutisi penegak hukum lain ada Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung yang berwenang mengusut korupsi.
Pakar hukum pidana Universitas Gadja Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, menyebutkan setiap napi yang melakukan kejahatan apa pun berhak mendapat keuntungan di Hari Kemerdekaan. Hukum di Indonesia tidak boleh membuat diskriminasi terhadap siapa pun, termasuk napi korupsi. "Napi itu juga warga negara Indonesia. Semua boleh mendapat haknyasesuai dengan aturan yang ada. Tidak boleh ada diskriminasi," tegas Edward.